Friday, December 24, 2010

Tempat Paling Aman di Dunia: Sebuah Catatan di Hari Ibu


Bagi saya, tempat yang paling aman di dunia ini bukanlah sebuah tempat yang dilindungi pagar anti peluru dan dijaga ketat oleh ratusan pasukan bersenjata.

Tempat yang paling aman versi saya sederhana saja, yaitu saat berada di pelukan ibunda tercinta.


Saya biasa memanggil ibu saya dengan sebutan Mama. Saya punya kebiasaan yang belum bisa saya tinggalkan hingga sekarang. Bila pulang dari kantor dan menemui Mama sedang berdoa usai sholat, saya suka merebahkan kepala saya di pahanya. Biasanya Mama akan lanjut membaca doa meskipun saya "mengganggunya". Saat inilah saya merasa sangat tenang dan damai. Karena saya yakin saya sedang berada di tempat yang paling aman di dunia.


Setelah selesai berdoa, biasanya mama akan bertanya tentang hari yang baru saja saya lalui. Masih dalam posisi tidur di pahanya, saya akan menceritakan pengalamannya saya hari itu. Kadang kami bicara serius, kadang becanda. Saya paling suka bila Mama mengelus kepala saya saat saya berceloteh. Ya, meski usia saya sudah lebih sedikit dari kepala 3, saya memang masih gemar bermanja-manjaan dengan Mama.


Di usianya yang ke-57, Mama masih terlihat awet muda. Karena itu tak jarang bila kami sedang bersama, orang mengira Mama adalah kakak saya. Kalau sudah begitu, Mama akan tersenyum sumeringah karena senang dipuji awet muda. Seperti saya, Mama juga suka jajan dan mencoba makanan baru. Bahkan, Mama juga punya hobi yang sama dengan saya dan adik perempuan saya, yaitu belanja dan berwisata. Tak heran bila kami bertiga sering pergi bersama melakukan hal-hal yang kami sukai tersebut.


Sebagai orang tua, Mama memberi kebebasan kepada saya untuk bergaul dengan siapa saja. Contohnya, saat remaja saya tak pernah sekalipun mendapat ultimatum batasan jam malam. Saya bebas pergi kemana saja, dengan siapa saja. Mama percaya bahwa saya tahu dan sadar mana yang baik dan mana yang buruk. Saya pun tidak pernah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh Mama. Hingga kini, semua yang telah saya perbuat insya Allah bisa saya pertanggungjawabkan.


Satu hal yang sangat saya sadari, tanpa restu dari Mama, apapun yang saya lakukan tak akan berjalan lancar. Contohnya saat saya mendaftar program beasiswa StuNed tahun lalu. Mama sepertinya kurang sreg bila saya berangkat ke Belanda. Bukan karena tak ingin anaknya dapat gelar S2, tapi karena Mama tak mau terpisah jauh dari saya. Selain itu Mama juga sebenarnya ingin saya merealisasikan rencana yang berbeda selain sekolah lagi. Bulan Mei 2009, saya mendapat surat penerimaan beasiswa bersyarat. Saya akan dibiayai kuliah di The Hague University bila saya bisa melengkapi beberapa dokumen dalam 2 minggu. Tapi dalam jangka waktu, ada saja hambatannya. Mulai dari saya mendadak ditugaskan liputan ke luar negeri (sehingga waktu mengurus dokumen berkurang) sampai saya masuk rumah sakit karena gejala DBD. Akhirnya saya berhasil mengurus dokumen-dokumen itu dengan bantuan seorang sahabat. Namun saya merasa, semua upaya tersebut baru berangsur-angsur lancar setelah Mama mulai ikhlas dan merestui rencana studi saya tersebut.


Karena itu, dalam segala rencana yang saya punya, saya sadar bahwa restu dari Mama adalah syarat nomor satu yang harus dipenuhi. Sebab bila Mama sudah merestui, sejatinya jalan yang saya lalui akan aman dari segala "serangan" yang merintangi. Dan saya pasti akan merasakan hal yang persis sama seperti ketika saya merebahkan kepala di paha Mama saat beliau sedang berdoa usai sholat: berada di tempat paling aman di dunia!


Selamat Hari Ibu, Mama! Thank you for being the best mother anyone could ever have...


***


Jakarta, 24 Desember 2010

01.30 AM


**Saya sadar catatan ini terlambat dua hari karena Hari Ibu jatuh pada tanggal 22 Desember. Saya sebenarnya sudah sangat 'sakaw' untuk menuliskan curahan hati ini, namun kesibukan kantor membuat saya terpaksa menunda niat tersebut.


No comments: