Monday, November 15, 2010

Usikan Si Berat Badan

"Makin gendut aja Bu..."

"Elo gendutan ya?"

"Kayaknya loe perlu mulai olahraga lagi deh, Mir.."



Dua minggu belakangan ini, komentar-komentar di atas akrab di telinga saya. Saya pun tidak menyalahkan pendapat-pendapat tersebut. Sejak pulang ke tanah air setelah tinggal di Belanda selama satu tahun, saya memang merasa badan saya sedikit membengkak. Namun, saya belum sempat menimbang berat badan secara seksama, sehingga tidak tahu berapa kilogram berat badan saya telah naik. Jujur saja, saya khawatir akan terus menerus kepikiran bila tahu berat badan saya sudah melampaui angka 60 Kg (dan saya yakin memang demikian, hehe).



Meski begitu, ada juga beberapa komentar yang lebih netral, seperti: "Bagus ya, elo gak gendutan di sana, badan loe sama aja kayak sebelum berangkat.." atau "Sedang nih badan loe segini, gak kegendutan, gak kekurusan..".



Bila dicermati, semua pendapat tersebut bermuara pada satu kesimpulan: berat atau bentuk badan dianggap mempengaruhi penampilan seseorang. Saya pribadi senang bila badan saya mengecil karena penampilan pun akan enak dilihat saat memakai kaos yang agak ketat, dress atau kebaya. Sebaliknya, kalau badan sedang membesar, akan tampak 'lipatan' di sana sini saat memakai model baju tertentu, yang menyebabkan penampilan jadi kurang enak dipandang. Kalau sudah begini saya pun kecewa karena tak bisa mengikuti trend mode yang kebanyakan dirancang untuk orang-orang yang bertubuh langsing. Jadi, ya, saya juga termasuk orang yang sadar bahwa bentuk badan mempengaruhi penampilan dan sebisa mungkin saya selalu berusaha tampil menarik.



Hanya saja, selama setahun berada Belanda, saya tak pernah terusik oleh masalah berat badan dan bentuk tubuh. Tak pernah sekali pun saya menerima komentar (baik dari orang Belanda asli, orang asing lain, maupun orang Indonesia yang tinggal di Belanda) yang mengatakan saya menggendut atau mengurus. Kalaupun ada pendapat yang dilontarkan terkait penampilan, tidak pernah menyangkut berat/bentuk badan. Misalnya:"Kamu terlihat cantik hari ini..", "Kamu tampak segar dan sehat...", "Baju ini cocok buat kamu..."atau "Kamu agak pucat, kamu lelah ya?".



Saya belum pernah menjumpai orang-orang di Belanda yang gemar mengomentari berat/bentuk badan orang lain. Kecuali bila si empunya badan duluan mengeluh kegendutan atau kekurusan, barulah mereka akan memberi saran diet atau olahraga yang cocok bagi orang tersebut. Tapi tak pernah ujug-ujug. Bagi mereka, selama sang pemilik badan tidak protes, masalah berat badan orang lain bukan urusan mereka. Ditambah lagi, karena struktur tubuh orang Belanda rata-rata tinggi besar, ukuran baju yang dijual di toko-toko pun menyesuaikan. Bila di Indonesia saya biasa memakai ukuran M atau L (saat berat badan 55 Kg misalnya), di sana baju berukuran S (bahkan terkadang XS) atau M muat untuk saya. Alhasil, saya tak kesulitan mencari baju dengan model-model yang trendy dan tetap bisa tampil gaya walaupun bentuk badan saya mulai membesar. Jadi, wajar kan, bila satu tahun di Belanda saya jarang direpotkan dengan urusan berat badan?



Namun, setelah kembali ke Indonesia, si berat badan yang sudah satu tahun ini absen mengganggu saya, kembali mengusik. Saya mendapat kesan, di sini sepertinya wajib bagi perempuan untuk menjaga bentuk badan ideal. Meski tidak diungkapkan secara langsung, tapi hampir semua komentar yang saya terima mengisyaratkan bahwa saya akan tampak lebih menarik bila badan saya tidak membesar atau bahkan jika lebih kurus. Akibatnya, saya pun 'dipaksa' untuk kembali memperhatikan berat badan. Kebanyakan orang juga beranggapan, perempuan yang kelebihan berat badan pasti ingin menurunkan berat badannya. Mereka berasumsi perempuan tersebut akan lebih bahagia bila berat badannya ideal. Padahal, apakah benar demikian? Bila melihat orang yang tampak kelebihan berat badan, pernahkah Anda terpikir, bisa jadi ia sebenarnya tak pernah punya niat untuk menurunkan berat badan karena merasa tak ada yang salah dengan kondisi tubuhnya?



Saya pribadi punya sejumlah pengalaman terkait usaha menurunkan berat badan. Karena tak terlalu gemar berolahraga dan sering tidak punya waktu untuk itu, saya memilih metode diet untuk menghilangkan lemak-lemak dalam tubuh. Sejak lima tahun yang lalu (dalam jangka waktu ini berat badan saya selalu turun naik di kisaran 52 sd 63 Kg. Tinggi saya 158 cm), saya sudah mengikuti tiga program diet yang berbeda. Tahun 2005, saya mencoba metode akupuntur atau tusuk jarum. Hasilnya, dalam tiga bulan berat badan saya turun 8 kilogram. Yang kedua, tahun 2007 (karena tak dijaga, dalam dua tahun berat saya kembali naik) saya diet dengan berkonsultasi kepada ahli gizi. Dalam waktu dua setengah bulan, berat badan saya menyusut sekitar 7 kilogram. Yang terakhir, tahun lalu saya mencoba totok langsing. Berat saya sempat berkurang hingga 3 kilogram dalam beberapa minggu. Semua upaya tersebut saya jalani karena didorong motivasi internal dan eksternal. Internal, karena saya ingin merasa lebih percaya diri saat memakai baju yang modelnya menonjolkan bentuk tubuh. Sementara dorongan dari luar, karena banyak orang yang berpendapat badan saya menggemuk, dan tidak munafik, dengan menurunkan berat badan, saya ingin mendengar pujian yang berkomentar: "Badan kamu bagus deh sekarang, kurusan...".



Tentu saja, semua upaya itu juga menuntut pengorbanan biaya dan tenaga yang tak sedikit. Per program yang saya ikuti, saya harus rela megeluarkan kocek hingga 4,5 juta rupiah. Ketiga metode penurunan berat badan itu pun harus diiringi diet super ketat. Jujur, saat menjalaninya saya merasa tersiksa dan sengsara karena tak bisa menikmati makanan-makanan kesukaan saya seperti cokelat, kue-kue manis, gorengan, mie, pasta, keju, susu, junk food, es krim, frappuccino, dan lain-lain. Saya merasa tidak menjadi diri sendiri saat berdiet. Karena pada dasarnya, saya adalah orang yang gemar makan apa saja dan berani mencoba jenis-jenis makanan yang berbeda.



Besok adalah hari pertama saya masuk kantor setelah satu tahun cuti di luar tanggungan. Besar kemungkinan, saya akan menerima banyak komentar tentang tubuh saya yang menggendut. Pertanyaannya bagi saya adalah, haruskah saya menanggapi komentar-komentar tersebut dengan mulai berdiet kembali demi menurunkan berat badan?



Saya lalu mematut diri di depan cermin. Hari ini saya memakai skinny jeans berwarna biru tua yang dipadu dengan kaos ketat lengan pendek dan rompi berbahan kaos dengan warna yang serupa. Hhhmm, menurut saya, saya masih terlihat cantik dan menarik kok. Memang sih, di beberapa bagian, bentuk tubuh saya tidak melekuk sebagaimana mustinya (mungkin kalau berat badan saya dikurangi 3-5 Kg barulah pakaian tersebut akan lebih pas membentuk tubuh). Tapi saya tidak merasa bahwa sosok yang ada di cermin ini mengganggu pandangan mata. Saya masih merasa nyaman berada di dalam tubuh perempuan yang terpantul dari cermin tersebut.



Jadi, saya berkesimpulan, melalui semua kerepotan untuk menurunkan berat badan, belum akan menjadi prioritas saya saat ini. Lagi pula, saya pikir saya gak pernah kok, tidak dapat pacar misalnya, gara-gara kelebihan berat badan. Bahkan seingat saya, saya memulai hubungan kebanyakan di saat badan saya sedang membengkak. Kasarnya, saya gak pernah gak 'laku' karena badan saya tidak langsing. Hal lainnya, Alhamdullilah masalah kelebihan berat badan saya sejauh ini tidak terkait dengan urusan kesehatan (saya sadar kelebihan berat badan terkadang erat kaitannya dengan penyakit, seperti kolesterol tinggi dan obesitas misalnya). Saya belum sempat melakukan General Check Up, tapi terakhir diperiksa, kadar kolesterol saya masih normal.



Saya semakin yakin, saya belum akan berdiet lagi! Kalaupun ada rencana yang saya punya terkait tubuh, saya hanya akan mencoba rutin berolahraga. Tapi tentu saja olahraga tujuannya bukan semata-mata demi menurunkan berat badan, tapi untuk menjaga kebugaran dan kesehatan secara keseluruhan.



Yang paling penting, ada satu pelajaran beharga yang saya petik dari pengalaman saya di Belanda terkait soal berat badan. Kalau yang punya badan saja masih merasa nyaman dan tidak ada masalah dengan bentuk badannya, kenapa orang lain musti protes?



***



“Someone's opinion of you does not have to become your reality.” -- Les Brown



“Beauty is how you feel inside, and it reflects in your eyes.” ~ Sophia Loren



“It’s a mind game, not a body game.” ~Gabby Sidibe


***



Jakarta, 15 November 2010

00.42 AM


Wednesday, November 10, 2010

Beri Saya Benci!

Ada satu perasaan yang sangat ingin saya miliki saat ini: benci. Ya, benci. Saya benar-benar ingin bisa membenci seseorang (saya tak perlu sebutkan namanya, yang pasti dia berjenis kelamin pria).


Saya sadar, saya tak seharusnya menginginkan perasaan tersebut. Karena benci adalah perasaan yang identik dengan segala sesuatu yang buruk, kotor, busuk, bahkan seringkali memicu tindak kekerasan atau kejahatan. Memendam perasaan benci tidak akan menyelesaikan masalah apa pun, malah bisa menambah persoalan.


Tapi, saat ini saya butuh perasaan benci...


Sebabnya, tak lain tak bukan, menyangkut urusan hati. Beberapa waktu yang lalu, saya pernah jatuh cinta pada seseorang. Dia juga mengaku sangat tergila-gila kepada saya (sampai sekarang saya tak tahu ini cuma gombal belaka atau tulus dari dalam hatinya). Katanya, setiap hari ia selalu memikirkan saya, bahkan saya telah menempati 'Top of Mind'-nya. Jelas saya tersanjung. Wajar lah, saya kan cuma perempuan biasa yang mudah meleleh bila dicekoki kata-kata manis.


Namun, hubungan kami tak bisa berlanjut. Bagi saya, penyebabnya semata-mata karena ketidakcocokan. Saya dan dia sama-sama punya ego dan gengsi yang tinggi. Seringkali hal ini jadi pemicu pertengkaran karena tak ada yang bersedia mengalah. Tapi dia justru melihatnya dari sisi yang lain. Menurutnya, setelah mengenal saya lebih lanjut, ternyata saya jauh dari apa yang dia harapkan (maksudnya, tidak sesuai dengan standar yang telah ia tetapkan dalam mencari pasangan). Jadi, ia berkesimpulan saya tak patut untuk disukai lebih lanjut karena tak mampu memenuhi kriteria-kriteria miliknya. Dia juga ungkapkan alasan lain, "Dalam beberapa hal kamu sering membuat saya merasa tidak berharga".


Setelah kami berpisah, entah mengapa saya merasa ia tak sekedar ilfil (ilang feeling) terhadap saya, tapi juga mulai membenci saya. Puncaknya, ketika ia mengembalikan semua barang yang pernah saya berikan kepadanya. Saya merasa, saking bencinya, ia ingin mengenyahkan saya dari hidupnya.


Saya sedih. Saya sakit hati. Saya ingin balik membencinya. Dan saya punya banyak alasan untuk itu karena beberapa kali dia pernah melontarkan kata-kata yang menyakiti hati saya. Tapi saya tetap belum bisa total membenci dia. Saya masih berkutat dengan berjuta-juta 'mungkin' dan 'kalau saja'. Mungkin dia punya alasan untuk membenci saya. Seingat saya, saya tidak pernah memuntahkan kata-kata kasar atau melakukan hal-hal yang bisa membuat dia dendam. Kalaupun saya sempat sedikit kasar, saya sudah minta maaf. Tapi, bisa jadi, saya anggap biasa saja, justru menyinggung perasaannya. Apalagi saya tahu, dia punya prinsip 'forgiven but not forgotten'. Kalau sudah begini, saya pun berandai-andai: kalau saja dulu saya lebih banyak lagi mengalah, kalau saja dulu saya tidak mudah terpancing emosi, kalau saja dulu saya lebih peka. Mungkin ia tidak akan membenci saya seperti sekarang.


Tapi, untuk saat ini saya tidak ingin terusik dengan segala 'mungkin' dan 'kalau saja' itu.


Saya cuma ingin membenci dia...


Saya tahu, batas antara benci dan cinta itu tipis. Saya ingin benci dia, agar saya bisa mematikan rasa suka saya terhadapnya. Saya mau benci dia, supaya saya bisa berhenti membuat dia berlari-lari di pikiran saya. Saya butuh benci dia, supaya saya mampu melupakan semua kenangan yang saya punya bersamanya. Saya wajib benci dia, agar saya tak lagi beranggapan bahwa ia adalah teman ngobrol dan partner jalan yang menyenangkan. Saya harus benci dia, justru karena perasaan suka saya kepadanya mungkin sudah terlalu dalam.


Karena itu, biarkanlah saya memohon...


Tuhan, untuk sekali ini saja, tolong beri saya perasaan benci! Dan ijinkanlah saya untuk menikmatinya!


***


"Love is blind; hate is deaf." -Unknown


“You know that when I hate you, it is because I love you to a point of passion that unhinges my soul.” - Julie de Lespinasse


***


10 November 2010

03.00 AM