Monday, September 27, 2010

Broadway & Mimpi yang Anti-Kadaluarsa


New York, Oktober 2000


Sebuah cafe di kawasan Times Square menjadi pilihan saya dan dua orang sepupu untuk menghabiskan sisa malam. Sambil menyeruput secangkir capuccino, kami pun asyik mengobrol. Topiknya, masih seputar resepsi pernikahan sepupu kami yang berlangsung malam sebelumnya. Resepsi tersebut diadakan di salah satu club hiburan malam yang cukup terkenal di kota yang dijuluki "The Big Apple" ini. Maya, Sepupu kami yang wanita asli Indonesia menikah dengan seorang New Yorker, yang juga pemilik club tersebut. Uniknya, semua tamu yang datang diwajibkan memakai pakaian tradisional Indonesia.


Di tengah-tengah perbincangan seru, melalui kaca cafe, mata saya menangkap sebuah bus umum yang sedang melintas. Tak ada yang istimewa dengan bus itu, hanya saja tulisan besar yang ada disana menarik perhatian saya. Bus tersebut mengiklankan pertunjukan Broadway Musical "The Lion King". Saya sudah sering membaca pujian tentang pertunjukan yang mulai digelar di Broadway sejak tahun 1997 ini. Sontak saya pun berkata "Wah, gue pengen banget nonton Broadway, dan kabarnya "Lion King" bagus ya? Masih sempat gak ya? Duh, kok gak kepikiran dari kemarin-kemarin ya." Saya memang suka nonton teater, tapi cukup yang ringan dan menghibur saja, sejenis Teater Koma misalnya. "Gak akan sempat deh, dua hari lagi loe pulang dan setahu gue gak gampang dapat tiketnya, musti pesan jauh-jauh hari sebelumnya. Gue sih udah pernah." Jawab Tania, sepupu saya, yang juga adik dari Maya dan sedang tinggal di New York.


Ah, dalam hati saya menyesal. Kenapa menonton Broadway bisa luput dari rencana perjalanan saya, padahal saya sudah berada di New York sejak sebulan yang lalu. Apalagi, belum tentu saya bisa kembali lagi kesini. Kalau mengandalkan modal pribadi, jelas saya tak akan sampai di New York. Saya masih berstatus mahasiswi yang belum punya penghasilan. Saya bisa mencicipi New York karena dibiayai penuh oleh Om dan Tante saya.


Hhm, saya lantas bertekad, suatu saat nanti saya harus menyaksikan pertunjukan "Lion King". Entah bagaimana caranya. Namun, karena sama sekali tidak punya bayangan bagaimana cara merealisasikan niat tersebut, saya pun terpaksa mengubur mimpi itu dalam-dalam.


***


Singapura, Mei 2009



Siang itu, pengunjung Esplanade Theatre membludak. Pasalnya, pertunjukan Broadway Musical "Cats" sedang digelar di sana, mulai tanggal 10 April hingga 3 Mei 2009. Saya dan dua orang teman, Achy dan Miranti, termasuk diantara para penonton. Kami sengaja datang ke Singapura untuk menyaksikan pertunjukan ini. Kebetulan ada tiket murah ditawarkan sebuah maskapai penerbangan yang membuka rute baru dari Jakarta ke kota Singa.


Adalah saya yang berinisiatif mengajak kedua teman saya untuk menonton pertunjukan ini. Saya masih terngiang-ngiang mimpi saya 9 tahun yang lalu. Makanya ketika melihat iklan di koran bahwa ada Broadway Musical yang akan digelar di Singapura, saya langsung tertarik untuk menontonnya. Apalagi setelah tahu harga tiketnya cukup terjangkau, saya pun tak ragu menyisihkan sebagian dari gaji bulanan saya untuk berakhir pekan di Singapura.


Saya cukup puas menyaksikan "Cats". Petunjukan musikal karya Andrew Llyod Webber ini menyuguhkan musik, koreografi dan kostum yang megah. Bedanya dengan "Lion King", "Cats" bermula pada tahun 1981 di West End, London, bukan di Broadway, New York. Setahun kemudian, barulah pertunjukan ini digelar di Broadway hingga tahun 2000.

Tapi konon (dari resensi-resensi yang pernah saya baca), pertunjukan "Lion King" jauh lebih ringan dan menghibur dibandingkan "Cats". Karenanya, saya tetap berambisi untuk menikmati pertunjukan karya Disney tersebut. Entah kapan mimpi itu bisa terlaksana.


***



London, 14 September 2010


Hari ini, mimpi saya 10 tahun yang lalu, akhirnya terwujud! Saya dan tiga orang teman, Melinda, Dewi dan Romy, baru saja usai menyaksikan Broadway Musical "Lion King" di Lyceum Theatre. Bukan di Broadway tapi di West End, London. Tak mengapa, karena dalam hal teater dan pertunjukan musikal, West End tak kalah pamornya dengan Broadway.


"Lion King" telah dipentaskan di West End sejak tahun 1999 dan hingga saat ini penontonya masih terus membludak. Saya sangat puas dengan pertunjukan ini. Musik, koreografi, kostum, tata panggung, akting para pemain, semuanya begitu memukau. Tak rugi mengeluarkan kocek sebesar 29 Pounds atau sekitar Rp. 410.000 (harga termurah) untuk menikmati pertunjukan berdurasi dua setengah jam ini.


Tapi di luar itu semua, saya punya kepuasan tersendiri. Saya sengaja menyisihkan sebagian dari uang saku bulanan (yang saya terima dari program beasiswa) untuk berlibur ke London (dan membeli tiket "Lion King" tentu saja). Saya pikir, mumpung London dekat dengan Belanda dan pengurusan visanya relatif lebih mudah. Kalau pakai uang sendiri, rasanya belum mungkin saya bisa menginjakkan kaki di London. Sejak Oktober 2009, saya memang mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda untuk melanjutkan studi S2 selama satu tahun di kota Den Haag. Siapa sangka, kesempatan berharga inilah yang akhirnya membawa saya merealisasikan mimpi sederhana yang saya punya sejak 10 tahun lalu.


***


Makanya, jangan pernah takut untuk bermimpi, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang besar. Karena mimpi itu bisa terwujud bila diusahakan atau bila ada kesempatan yang hinggap. Percaya deh, mimpi itu sungguh anti-kadaluarsa!


"If you can dream it, you can do it"-- Walt Disney.


***


Den Haag, 27 September 2010

2.25 AM

Tuesday, September 21, 2010

Disini, Dulu dan Saat Ini

***

Schiphol Airport, Amsterdam - Terminal 3


Disini, dulu, suatu siang di penghujung bulan.

Berbagai rasa campur aduk menjadi satu. Bahagia. Sedih. Dicintai dan Mencintai. Rindu. Cemas.

Semuanya indah. Terang. Berharga. Secercah harapan, menyeruak diantara.

"Ah, seandainya saja waktu bisa diulang. Tak ingin segera beranjak dari rasa ini..."

***

Schiphol Airport, Amsterdam - Terminal 3


Disini, saat ini, suatu pagi di hampir akhir bulan.

Yang ada cuma rasa hampa. Hilang. Sepi. Gelap. Tak Berarti.

Segenggam harapan itu pun, pupus sudah.

"Ah, seandainya waktu bisa dipercepat. Ingin segera berlari dari rasa ini..."

***


Bagi saya, bandara seakan punya kekuatan magis, karena bisa memberi rasa yang berbeda setiap kali saya berada disana. Seperti halnya sang waktu, yang punya makna berbeda di setiap fragmennya...


***




Saturday, September 11, 2010

Mencari yang ideal

Coba pikirkan, sepanjang hidup Anda, seberapa sering kata 'idealnya' terlintas di benak atau terlontar dari mulut Anda? Saya yakin, pasti jawabannya tak terhitung.


“Idealnya, saya menikah di usia 25 tahun...”

“Idealnya, saya punya pacar yang tampan dan setia...”

“Idealnya, saya punya penghasilan Rp. 20 juta per bulan...”

“Idealnya, usia 30 tahun saya sudah punya rumah sendiri..”

Dan berjuta-juta 'idealnya' lainnya...


Dalam bahasa inggris kata ideal juga berarti ideal dan menurut Oxford Learner’s Pocket Dictionary yang saya punya, ideal artinya “idea or standard that seems perfect” atau “person or thing considered perfect”. Kesimpulannya, ideal identik dengan perfect atau sempurna.


Tak ada yang salah dengan menginginkan kondisi atau hal-hal yang ideal. Bahkan sangat manusiawi, karena kita pasti mau yang terbaik dalam hidup ini. Menengok ke belakang, saya bisa dibilang beruntung karena cukup banyak kondisi (yang menurut saya) ideal yg telah saya raih selama 33 tahun saya hidup di bumi ini (halah, jadi ketahuan deh umurnya). Saat SMA, saya berpikir, “Saya ingin jadi diplomat, idealnya saya kuliah di jurusan Hubungan Internasional”. Tahun 1996, saya lolos UMPTN dan diterima di HI UNPAD. Tapi di tengah-tengah kuliah, saya berubah pikiran. “Idealnya setelah lulus nanti, saya tidak jadi diplomat tapi berkarier sebagai jurnalis televisi”. Mei 2002, enam bulan setelah jadi sarjana ilmu politik, saya bergabung dengan Trans TV sebagai Reporter. Contoh lainnya, saya berharap, “Idealnya, suatu saat saya akan meraih beasiswa S2 di luar negeri”. Pucuk dicinta ulam tiba, sejak tahun lalu saya belajar di Belanda dengan beasiswa penuh dari StuNed. Dan masih banyak ‘idealnya’ lain yang berhasil saya wujudkan dengan berusaha dan berdoa (semua orang yang beragama pasti sadar berusaha tak akan afdol tanpa diiringi doa).


Tapi itu semua menyangkut urusan cita (pendidikan dan pekerjaan). Dalam hal cinta, saya tidak seberuntung kebanyakan teman-teman saya (nah, mulai deh tulisan ini berubah jadi curhat colongan). Saya belum menikah, padahal saya pikir, idealnya sebelum usia 30 tahun saya sudah menikah. Saya bahkan belum pernah punya pasangan yang memiliki semua kriteria 'idealnya' versi saya. Ya, idealnya saya punya pendamping yang seiman, mapan (dalam artian punya pekerjaan yg memadai, penghasilan yang lebih baik dari saya dan punya cukup modal untuk menikah), good-looking dengan tubuh proporsional (cukup di mata saya, gak perlu ganteng kayak artis), dan di luar atribut-atribut itu, yang paling penting adalah nyambung dengan saya. Nyambung disini artinya punya wawasan yang luas dan bisa diajak berdiskusi tentang banyak hal. Dia harus mengerti prinsip-prinsip yang saya anggap penting dalam hidup saya dan dapat jadi sahabat yang bisa diajak serius dan juga bersenang-senang.


Terlalu pemilihkan saya? Saya akui, bisa jadi begitu. Bahkan saya mudah ilfil (ilang feeling) bila cowok yang sedang dekat dengan saya tidak sesuai kriteria ‘idealnya’ saya, termasuk dalam hal-hal kecil. Saya pernah ilfil pada seorang cowok yang memesan perkedel di McDonalds. Saya pikir seharusnya dia tahu, menu perkedel adanya di KFC, bukan McDonalds. Konyol memang, karena bisa jadi dia bukan seorang fast food junkie seperti saya (pada masa itu), karenanya sah-sah saja bila ia tidak tahu. Di tingkat yang lebih serius, saya juga pernah ilfil pada seorang cowok yang berkata,”Kok mau-maunya kamu kerja di akhir pekan, jangan mau kalo tidak dapat upah tambahan”. Sebagai jurnalis, saya sudah terbiasa kerja di akhir pekan, dan jurnalis tidak dapat upah tambahan untuk hal ini (bila dapat, saya tentu sudah kaya raya). Menurut saya, cowok ini tidak sepantasnya berkata begitu kepada saya, kan dia belum tahu seberapa besar saya mencintai pekerjaan saya, bahkan belum pernah bertanya apakah saya keberatan bekerja di akhir pekan. Contoh lainnya, seorang cowok yang dijodohkan kepada saya oleh seorang teman juga pernah berkomentar, “Sebaiknya kamu beralih profesi,gak akan berkembang kalo jadi jurnalis terus". Lagi-lagi saya berpikir, betapa sempitnya pemikiran orang ini. Dia kan belum tahu apa cita-cita saya dan kami belum pernah membahas seberapa jauh saya ingin berkarya sebagai seorang jurnalis. Orang-orang seperti dua contoh terakhir benar-benar bisa membuat saya ilfil , meskipun mereka punya atribut-atribut lain yg saya sebut diatas (seperti seiman, mapan dll). Jadi, ya benar, dalam hal cinta, saya memang si pemilih.


Tapi ternyata ada yang jauh lebih pemilih daripada saya. Saya punya seorang teman cowok. Dia sudah punya pacar dan mereka sudah menjalin hubungan selama lebih dari 4 tahun. Namun, teman saya mengaku, dia belum yakin bahwa sang pacar akan menjadi istri yang ideal baginya. Ia mengaku masih dalam tahap menilai. “Pacar saya memang calon yang potensial untuk masa depan saya, tapi saya belum yakin. Saya masih membanding-bandingkan dengan perempuan lain untuk mencari pendamping yang sepadan dan terbaik bagi saya.” cetusnya. Ia menambahkan, “Bahkan saya pun sedang menilai kamu saat ini”. (Oke, saya akui, saya memang lebih dari sekedar teman dengan dia). Pembicaraan ini berlangsung saat kami baru saling lebih mengenal selama kurang lebih 2 bulan. Saat itu saya pikir, wajar lah kalau ia masih menilai saya. Tapi yang membuat saya sedikit terhenyak justru, 5 bulan berselang dari pembicaaraan tersebut, ia mengaku masih belum bergeser dari tahap menilai saya. Ego saya si pemilih pun berontak, karena tak terima terus-terusan dinilai. Saya kira hubungan kami sudah sampai ke tahap yang nyaman dan sudah melewati masa penilaian (walaupun mustinya saya tidak heran, karena toh dia juga masih terus menilai pacarnya yang sudah lebih dari 4 tahun bersamanya).


Dari kedekatan saya dengan dia, saya si pemilih pun sadar bahwa ternyata tak enak terus-terusan dinilai (seperti yang sering saya lakukan pada orang lain). Saya lantas berpikir ulang tentang kriteria ‘idealnya’ versi saya dalam mencari pendamping hidup. Mungkin saya terlalu pemilih dan ada baiknya saya berkompromi dengan kriteria-kriteria tersebut. Karena kalau dalam hal-hal lain (misal, pekerjaan) saya bisa kompromi bila tidak berhasil mencapai yang ideal (dengan dalih ‘bukan jalannya’, ‘Tuhan punya rencana yang lebih baik’, ‘belum rejeki’, dsbnya) kenapa dalam urusan mencari pasangan toleransi saya begitu ketat bahkan hampir tidak ada? Saya pun tanpa ragu langsung menjawab, wajar dong kan yang ini (lagi-lagi idealnya) buat seumur hidup, jadi saya mau dapat yang terbaik. Tapi kalau begitu, sampai kapan saya harus bertahan mencari sosok ideal yang belum tentu akan saya temukan tersebut? Rasanya lelah juga kalau harus terus-terusan menilai. Seorang teman malah pernah menyindir saya “Yang ideal menurutmu itu kan subyektif sekali, kalau kamu ingin cari pasangan yang ideal versimu tanpa kompromi sedikit pun, ya pacarin aja diri sendiri."


Jadi, haruskah saya tetap bertahan dengan kriteria ‘idealnya’ versi saya atau sebaiknya saya mulai berkompromi dengan mengubah kriteria-kriteria tersebut? Ah, saya tidak tahu. Sungguh, untuk urusan yang satu ini, saya bingung. Satu hal yang pasti, saya cuma ingin yang terbaik.


***


"Isn't everything autobiographical? I mean, we all see the world through our own little keyhole" - Jesse in the movie "Before Sunset".


Den Haag, 11 September 2010

03.05 AM


Thursday, September 2, 2010

Tentang Ingatan

Pernah nonton film “Eternal Sunshine of the Spotless Mind" ? Bila belum, biar saya ceritakan sedikit tentang isi film tersebut. Film buatan tahun 2004 ini berkisah tentang Joel Barish (diperankan oleh jim Carey) yang suatu hari menemukan kekasihnya, Clementine Kruczynski(diperankan oleh Kate Winslet), tidak lagi mengenali dirinya. Usut punya usut, ternyata Clementine telah menghapus semua ingatannya tentang Joel melalui jasa perusahaan penghilangan ingatan bernama Lacuna, Inc. Terpukul dengan tindakan sang kekasih, Joel pun berusaha melakukan hal yang sama. Namun, saat proses pembuangan ingatan berlangsung, Joel justru menyadari ia tak ingin kehilangan semua ingatan tentang Clementine. Karena selain ingatan yang buruk, ia bahkan punya lebih banyak ingatan yang indah tentang Clementine.


Saya sudah sering membaca resensi yang memuji film karya sutradara Michel Gondry (yang juga menyutradarai film "Being John Malkovich") ini. Hanya saja belum pernah sempat menontonnya. Saya baru sengaja menyaksikannya saat mengalami hal yang hampir serupa dengan Joel dan Clementine. Ya, saya ingin menghapus ingatan tentang seseorang dari pikiran saya. Saya pernah dekat dengan orang ini dalam waktu yang relatif singkat, tapi sangat berkesan karena banyak hal yang telah dilalui bersama dan begitu dalam perasaan saya kepadanya. Wajar saja, kalau ia kerap menyesaki pikiran saya. Suatu hari, kami sepakat untuk memutuskan kedekatan yang sudah terjalin. Tak lama setelah itulah saya menonton film ini. Saya pun berpikir, alangkah leganya bila jasa pemusnahan ingatan tersebut benar-benar ada di kehidupan nyata. Jujur saja, saat itu saya sangat tersiksa dengan ingatan-ingatan saya tentang teman dekat saya itu, karena hampir setiap jam (kayaknya agak berlebihan kalau bilang setiap menit atau detik, hehe), ia berlari-lari di benak saya. Rasanya ingin menghapus semua ingatan tentangnya secara instan supaya saya bisa berkonsentrasi ke hal-hal lain.


Kenyataannya, menghilangkan ingatan yang berkesan memang tidak mudah. Ingatan lebih dari sekedar kumpulan informasi yang tersimpan di dalam otak, tapi juga merupakan tumpukan pengalaman yg melibatkan orang lain, benda, tempat atau situasi tertentu. Ingatan juga terbentuk dari apa yang kita terima melalui 5 panca indera kita. Lewat 5 panca indera ini jugalah ingatan yang sudah memudar bisa menyeruak kembali. Contohnya, bila melihat atau mencium benda tertentu, kita bisa teringat orang, tempat, atau keadaan tertentu.


Maya Angelou, penyair terkenal asal AS, pernah berkata "I've learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel." Tak heran, menghilangkan ingatan menjadi sulit, karena ingatan erat kaitannya dengan perasaan. Coba pikirkan beberapa ingatan yg ada di otak anda. Masing-masing bisa menimbulkan perasaan yang berbeda saat kita mengingatnya. Ada yang membuat tersenyum, terharu, marah, bahkan ada yang membuat kita menangis. Artinya, ingatan satu paket dengan perasaan. Berusaha melenyapkan ingatan (tentang seseorang) tak akan sukses tanpa diiringi upaya mematikan perasaan yang menyertainya. Dan menghilangkan perasaan jauh lebih sulit daripada sekedar meraibkan ingatan, karena yang satu ini sudah menyangkut urusan hati.


Dulu, jaman SMA dan kuliah, saya sering bertindak impulsif bila ingin melupakan seseorang (dalam konteks asmara tentunya). Saya kerap membuang semua barang yang berhubungan dengan mantan pacar saya dan berusaha memutuskan semua kontak dengannya. Tapi seiring waktu berjalan, saya tak lagi tergesa-gesa melakukan hal-hal tersebut. Karena saya kini sadar, yang utama bukanlah membinasakan sang mantan dari pikiran saya, tapi justru menetralkan perasaan yang pernah saya limpahkan kepadanya. Kalau perasaan saya sudah netral, akan lebih mudah melupakan sang mantan. Tapi meski telah memudar, perasaan tak akan pernah hilang 100 %. Misalnya, saat ini saya mungkin sudah lupa apa saja yg pernah saya lalui bersama sang mantan, namun saya masih ingat perasaan seperti apa yang pernah ia berikan kepada saya saat kami bersama, dan perasaan seperti apa yang pernah saya limpahkan kepadanya.


Jadi, kalaupun jasa yang ditawarkan Lacuna, Inc. ada di dunia nyata, saya kini yakin tak akan memakainya. Hanya akan buang-buang waktu dan tenaga (dalam fim tersebut digambarkan proses penghilangan ingatan itu berlangsung semalam suntuk). Apalagi kalau ujungnya juga seperti akhir film "Eternal Sunshine of the Spotless Mind". Joel dan Clementine yang sama-sama sudah tidak saling mengenal, tak sengaja bertemu lagi (maaf bila ini menjadi spoiler bagi yang belum nonton). Dasar jodoh, mereka jatuh cinta dan semua bermula kembali. Kelanjutannya, bisa ditebak. Keduanya kembali merajut ingatan demi ingatan tentang satu sama lain.


***


Den Haag, 2 September 2010

03.09 AM