Tuesday, November 1, 2011

Follow your heart vs Collectivism

"When in doubt, just follow your heart."

Bila ragu, ikuti saja kata hatimu. Begitu kata banyak orang.

Saya sendiri selalu berusaha menerapkan prinsip tersebut setiap hendak mengambil sebuah keputusan. Namun entah mengapa, akhir-akhir ini saya tak bisa meraba kemana hati saya bergerak. Bahkan saya sulit mendengar apa yang ia ucapkan. Kalaupun mendengar, seringkali saya tak paham apa yang ia maksud.

Berada dalam kondisi seperti ini membuat saya berpikir keras. Apa kira-kira penyebab sulitnya saya mengikuti kata hati belakangan ini? Dan tiba-tiba saja, saya mengaitkannya dengan kenyataan bahwa saya hidup di dalam budaya kolektivis.

Bila anda masih asing dengan istilah tersebut, biar saya jelaskan sedikit. Saya sama sekali bukan ahli sosiologi, tapi kebetulan saya pernah cukup akrab dengan istilah ini saat belajar mata kuliah Culture & Communication. Menurut Geert Hofstede, seorang ahli antropologi dan psikologi sosial asal Belanda, lawan dari budaya individualis adalah budaya kolektivis dimana sejak lahir seseorang otomatis langsung terikat dengan suatu kelompok yang biasanya adalah keluarga luas (mencakup paman, bibi, kakek-nenek). Keluarga luas inilah yang akan terus menjaganya, namun sebagai imbalan, mereka menuntut kesetiaan yang tak bersyarat dari individu yang bersangkutan. Ayn Rand, seorang ahli filsafat asal AS menambahkan, budaya kolektivis menuntut pengorbanan dan kesediaan untuk mengalah terhadap kepentingan orang lain.

Lantas apa kaitan prinsip follow your heart dengan budaya kolektivis? Bisa jadi, karena ikatan yang kuat dengan kepentingan orang lain, prinsip follow your heart sulit dijalankan secara murni dalam budaya kolektivis. Pasalnya, setiap keputusan yang akan seseorang ambil seringkali diupayakan agak tidak merugikan atau menyakiti orang lain bahkan kalau bisa justeru menguntungkan atau menyenangkan bagi (terutama) orang-orang terdekat. Akibatnya, dalam mengambil keputusan, kepentingan orang lain menjadi salah satu unsur yang wajib djadikan bahan pertimbangan.

Contohnya beragam, kata hati Anda ingin menikah dengan pria/wanita idaman, namun orang tua punya kriteria lain. Kebanyakan cerita dalam budaya kolektivis, anda akan berpisah dengan sang kekasih dan terpaksa mengikuti kehendak orang tua. Anda masih ingin melakoni pekerjaan impian yang memang sering menuntut untuk lembur, tapi suami ingin Anda mengurus rumah tangga saja. Kasus lain, Anda belum ingin menikah, tapi semua mata sekan-akan menyuruh Anda untuk segera melepas masa lajang karena sudah sepantasnya (menurut mereka). Hidup dalam budaya kolektivis, bukan tak mungkin Anda akhirnya ikut uring-uringan meskipun kata hati Anda sebenarnya belum siap untuk menikah.

Bila akhirnya saya misalnya tetap mengikuti kata hati dan mengalahkan kepentingan orang lain, ada dua kemungkinan. Jika ternyata pilihan saya tepat, maka orang-orang sekitar pun ikut senang dan orang-orang yang turut menyumbangkan saran sesuai kata hati saya mungkin akan berkata, "Tuh kan benar, apa kata saya!". Tapi, bila pilihan saya salah, kalimat yang persis sama juga bisa saja saya dengar, namun dengan nada yang sumbang. Kalau ada lanjutannya kira-kira akan seperti ini, "...salah sendiri, udah dibilangin yang benar masih keukeuh..". Menyebalkan ya. Oke lah, pilihan saya salah, tapi saya kan cuma mencoba mengikuti kata hati saya.

Seorang sahabat wanita yang dikenal berpribadian sinis pernah berkata "Persetan dengan orang lain. Pada akhirnya elo sendiri yang ngejalanin hidup loe. Jadi jangan pernah ragu untuk ikutin kata hati loe." Saya sangat setuju dengan pendapatnya. Dan saya juga pernah merasakan betapa lebih bebasnya mengikuti kata hati saat tinggal di negara individualis seperti Belanda atau AS. Menyenangkan memang, karena saya jauh dari orang-orang terdekat sehingga saya bebas memutuskan apa saja sesuai kata hati tanpa harus memikirkan kepentingan mereka. Yang penting pilihan saya bisa saya pertanggungjawabkan. Namun, jujur mungkin karena dasarnya saya tumbuh dan besar dalam budaya kolektivis, di saat-saat itu saya juga kadang rindu sekedar meminta masukan dari sahabat-sahabat terdekat. Akhirnya video call melalui Skype atau YM menjadi ajang curhat antar benua. Ujung-ujungnya, saran mereka pun tetap saya jadikan pertimbangan.

Saya tahu, kata hati sejatinya tidak pernah salah. Kata hati pada akhirnya akan menuntun ke keputusan yang tepat. Hanya saja jalan yang harus dilewati untuk menuju kesana tak selamanya mulus. Tapi, bukankan itu yang namanya hidup?

So, always trust your heart. Dan pergilah kemana ia menuntunmu. Meskipun, mungkin.. hanya mungkin, untuk bisa konsisten mengikuti kata hati di tengah budaya kolektivis, butuh pribadi seteguh dan setangguh Nelson Mandela yang pernah mengutip bait puisi karya penyair asal Inggris Willian Ernest Henley:

"I am the master of my faith, I am the captain my soul... "

***

Jakarta, 20 Oktober 2010

11.53 PM