Friday, December 24, 2010

Tempat Paling Aman di Dunia: Sebuah Catatan di Hari Ibu


Bagi saya, tempat yang paling aman di dunia ini bukanlah sebuah tempat yang dilindungi pagar anti peluru dan dijaga ketat oleh ratusan pasukan bersenjata.

Tempat yang paling aman versi saya sederhana saja, yaitu saat berada di pelukan ibunda tercinta.


Saya biasa memanggil ibu saya dengan sebutan Mama. Saya punya kebiasaan yang belum bisa saya tinggalkan hingga sekarang. Bila pulang dari kantor dan menemui Mama sedang berdoa usai sholat, saya suka merebahkan kepala saya di pahanya. Biasanya Mama akan lanjut membaca doa meskipun saya "mengganggunya". Saat inilah saya merasa sangat tenang dan damai. Karena saya yakin saya sedang berada di tempat yang paling aman di dunia.


Setelah selesai berdoa, biasanya mama akan bertanya tentang hari yang baru saja saya lalui. Masih dalam posisi tidur di pahanya, saya akan menceritakan pengalamannya saya hari itu. Kadang kami bicara serius, kadang becanda. Saya paling suka bila Mama mengelus kepala saya saat saya berceloteh. Ya, meski usia saya sudah lebih sedikit dari kepala 3, saya memang masih gemar bermanja-manjaan dengan Mama.


Di usianya yang ke-57, Mama masih terlihat awet muda. Karena itu tak jarang bila kami sedang bersama, orang mengira Mama adalah kakak saya. Kalau sudah begitu, Mama akan tersenyum sumeringah karena senang dipuji awet muda. Seperti saya, Mama juga suka jajan dan mencoba makanan baru. Bahkan, Mama juga punya hobi yang sama dengan saya dan adik perempuan saya, yaitu belanja dan berwisata. Tak heran bila kami bertiga sering pergi bersama melakukan hal-hal yang kami sukai tersebut.


Sebagai orang tua, Mama memberi kebebasan kepada saya untuk bergaul dengan siapa saja. Contohnya, saat remaja saya tak pernah sekalipun mendapat ultimatum batasan jam malam. Saya bebas pergi kemana saja, dengan siapa saja. Mama percaya bahwa saya tahu dan sadar mana yang baik dan mana yang buruk. Saya pun tidak pernah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh Mama. Hingga kini, semua yang telah saya perbuat insya Allah bisa saya pertanggungjawabkan.


Satu hal yang sangat saya sadari, tanpa restu dari Mama, apapun yang saya lakukan tak akan berjalan lancar. Contohnya saat saya mendaftar program beasiswa StuNed tahun lalu. Mama sepertinya kurang sreg bila saya berangkat ke Belanda. Bukan karena tak ingin anaknya dapat gelar S2, tapi karena Mama tak mau terpisah jauh dari saya. Selain itu Mama juga sebenarnya ingin saya merealisasikan rencana yang berbeda selain sekolah lagi. Bulan Mei 2009, saya mendapat surat penerimaan beasiswa bersyarat. Saya akan dibiayai kuliah di The Hague University bila saya bisa melengkapi beberapa dokumen dalam 2 minggu. Tapi dalam jangka waktu, ada saja hambatannya. Mulai dari saya mendadak ditugaskan liputan ke luar negeri (sehingga waktu mengurus dokumen berkurang) sampai saya masuk rumah sakit karena gejala DBD. Akhirnya saya berhasil mengurus dokumen-dokumen itu dengan bantuan seorang sahabat. Namun saya merasa, semua upaya tersebut baru berangsur-angsur lancar setelah Mama mulai ikhlas dan merestui rencana studi saya tersebut.


Karena itu, dalam segala rencana yang saya punya, saya sadar bahwa restu dari Mama adalah syarat nomor satu yang harus dipenuhi. Sebab bila Mama sudah merestui, sejatinya jalan yang saya lalui akan aman dari segala "serangan" yang merintangi. Dan saya pasti akan merasakan hal yang persis sama seperti ketika saya merebahkan kepala di paha Mama saat beliau sedang berdoa usai sholat: berada di tempat paling aman di dunia!


Selamat Hari Ibu, Mama! Thank you for being the best mother anyone could ever have...


***


Jakarta, 24 Desember 2010

01.30 AM


**Saya sadar catatan ini terlambat dua hari karena Hari Ibu jatuh pada tanggal 22 Desember. Saya sebenarnya sudah sangat 'sakaw' untuk menuliskan curahan hati ini, namun kesibukan kantor membuat saya terpaksa menunda niat tersebut.


Sunday, December 12, 2010

Paris dan Cinta yang Lain


Paris, suatu malam di musim gugur...



Dengan antusias, perempuan itu menaiki satu per satu anak tangga di pilar utara Menara Eiffel. Masih ada sekitar 200 anak tangga yang harus ia daki. Dinginnya udara Paris malam itu, menambah berat perjuangannya untuk bisa sampai ke tingkat pertama Menara Eiffel. Namun, semua itu tidak menyurutkan semangatnya. Ia ingin menikmati pemandangan kota Paris dari ketinggian 57 meter.


Ia tak pernah meyangka bisa menapakkan kaki di ibukota Perancis ini. Perempuan itu datang ke Paris bersama seorang sahabat wanitanya. Mereka hanya berdua, dan cuma punya waktu 3 hari 2 malam. Namun, sang sahabat sudah pernah ke Paris sebelumnya dan telah berkali-kali menyambangi Menara Eiffel. Jadilah perempuan itu terpaksa naik ke atas seorang diri.


Tapi tak mengapa, pikirnya. Telah banyak ia lihat gambar-gambar indahnya kota Paris diambil dari atas Menara Eiffel. Ia ingin membuktikannya sendiri. Tapi, ia memutuskan hanya naik ke tingkat satu, karena antrean ke puncak Menara Eiffel lebih panjang dan ia malas mengantre tanpa ada teman ngobrol.


Akhirnya, perempuan itu sampai juga di teras tingkat satu Menara Eiffel. Pemandangan kota Paris berbalut lampu dari segala penjuru, langsung memanjakan matanya. Sungguh mempesona. Ia memang selalu sukacity lights. Memandangi kerlap kerlip lampu dari ketinggian.


Tangannya segera mengeluarkan kamera pocket yang disimpan di kantong jaket. Sayang, ia tidak punya kamera SLR. Kalau ada, pasti panorama ini bisa diabadikan dengan lebih sempurna. Tak mau ketinggalan ada di dalam foto, ia membalikkan arah bidikan kameranya, dan memotret diri sendiri.


"Do you want me to take your picture?" Seorang pria yang sedang melintas bersama pasangannya bertanya.


"Yes, please!" Jawab perempuan itu.


Klik!


"Here you go." Kata pria itu sambil menyerahkan kembali kameranya.


"Thank you..."


"You're very welcome!" Pria itu berlalu sambil memeluk pasangannya.


Perempuan itu baru sadar, hampir segala sudut Menara Eiffel dipenuhi pasangan yang tengah memadu kasih. Ada yang tua, ada yang muda. Ada yang berpelukan, berciuman, atau hanya saling pandang. Hhmm, Paris memang pantas dijuluki Kota Cinta. Love is in the air.


Ia pun berkhayal. Seandainya saja saat ini ada seorang pria yang menemaninya. Tapi ia tidak membayangkan kekasih atau suaminya atau pria tertentu. Perempuan itu belum menikah dan ia juga sedang tidak punya pacar. Ia hanya berandai-andai, suatu hari bisa menikmati Paris dari atas Menara Eiffel bersama seorang pria. Dalam hati ia pun mengucap doa: semoga suatu saat impian ini bisa terwujud!


***



Paris, suatu malam di musim semi...


Perempuan itu tak mengira bisa mengunjungi Menara Eiffel untuk kedua kalinya. Kali ini, ia rela ikut dalam antrean yang panjang dan membayar 13 euro agak bisa naik ke tingkat tiga atau puncak Menara Eiffel. Ia yakin pengorbanannya tak akan sia-sia. Karena kali ini ia tidak sendiri. Pria yang ada disampingnya akan menemaninya menyaksikan indahnya Paris di malam hari.


Ia mempererat genggamannya pada tangan pria itu. Sang pria pun tersenyum, lantas merengkuh bahunya. Perempuan itu tengah berbahagia. Impian yang ia punya sejak 2,5 tahun yang lalu akhirnya terwujud: berada di Menara Eiffel bersama seorang pria.


Keduanya memasuki lift yang akan membawa mereka ke tingkat dua. Lift bergerak. Perempuan itu senang. Tapi ada satu hal yang mengusik pikirannya. Perempuan itu menimang-nimang: haruskah ia ungkapkan kegalauan di dalam hatinya? Mungkin tidak perlu. Ia sebaiknya menikmati saja waktu yang ia punya bersama pria itu. Tapi ia tak bisa membohongi diri. Hatinya sungguh gundah gulana.


Sampailah mereka di tingkat dua. Ada antrean yang harus kembali dilalui untuk naik lift yang akan mengantar mereka ke puncak Eiffel. Keduanya berbaris di antrean tersebut.


Ah, sepertinya ia harus mengeluarkan uneg-uneg ini. Ia tak kuasa lagi membendung keresahan di hatinya.


“Boleh aku tanya sesuatu?” Perempuan itu akhirnya memberanikan diri.


“Boleh...”


Ia ragu-ragu untuk melanjutkan. Tapi, ia ingin segera mengakhiri perasaan tidak nyaman ini.


“Kamu sering melakukan ini?”


“Maksudmu?”


“Ya seperti yang kita lakukan sekarang ini....”


Pria itu menghela nafas sambil tersenyum tipis. Perempuan itu langsung menyambar, mempertegas pertanyaannya.


“Maksudku, kamu sering mengkhianati kekasihmu seperti ini?”


Ya, pria itu memang sudah punya pacar. Dan bukan perempuan itu kekasihnya. Perempuan itu berada di tempat yang tepat, dengan perasaan yang tepat, tapi bersama orang yang salah: di Menara Eiffel, dengan perasaan cinta, tapi bersama pacar orang lain. Ah, ironis sekali.


Pria itu tampak berpikir sebelum menjawab.


“Sejujurnya ini bukan yang pertama. Sekitar 5 bulan yang lalu, ini pernah terjadi”


“Pacar kamu tahu?”


“Ya, akhirnya aku cerita. Aku selalu jujur padanya.”


“Dia gak marah?”


“Tentu dia kecewa. Tapi, dia maafkan aku...”


Mereka semakin dekat ke pintu lift. Pintu lift terbuka, keduanya masuk ke dalam. Lift bergerak. Kegundahan perempuan itu belum juga usai. Tapi ia menahan diri, menunggu sampai lift berhenti.


Begitu pintu lift terbuka, kerlap kerlip lampu yang menyelimuti kota Paris langsung terhampar di depan mata. Dari ketinggian 276 meter, pemandangan itu sangat memukau. Cuaca Paris yang saat itu hanya sekitar 13 derajat Celsius menambah romantis suasana malam itu. Pria itu memeluknya, sambil mengecup pipi perempuan itu. Ia pun balas memeluk sang pria. Namun, ia belum sepenuhnya lega. Masih ada ganjalan di hatinya.


Sambil menatap mata pria itu, ia bertanya, “Sedalam apa sih perasaan kamu ke aku? Beda gak dengan perasaanmu terhadap selingkuhanmu yang dulu? Atau bahkan terhadap pacarmu sekarang?”


“Aku gak pernah punya perasaan sedalam ini terhadap siapa pun sebelumnya. Cuma sama kamu. Setiap hari aku gak pernah berhenti mikirin kamu...” Pria itu meyakinkannya.


Perempuan itu puas dengan jawaban sang pria. Tapi, lubuk hatinya yang paling dalam melontarkan protes.


“Tapi kamu punya pacar. Seandainya dia gak ada, pasti semua ini akan lebih berarti. Kamu mau mutusin dia buat aku? ”


Pria itu mempererat pelukannya. Lalu, tangan kanannya mengangkat dagu perempuan itu.


"Kamu percaya kan aku sangat tergila-gila kepada kamu? Tapi kamu juga tahu, aku gak semudah itu bisa mutusin pacarku. Sudahlah, yang penting sekarang aku ada disini bersama kamu..."


"Aku percaya kamu, tapi..."


Belum sempat ia melanjutkan kalimat protesnya, pria itu perlahan mendekatkan bibirnya ke bibir perempuan itu. Mengecupnya dengan lembut. Perempuan itu membalasnya. Mereka berciuman di puncak Menara Eiffel. Sekejab, perempuan itu lupa akan kegundahan di dalam hatinya.


Ah, perempuan itu tak peduli. Yang penting ia bisa bilang pada dunia bahwa ia pernah berada di puncak Menara Eiffel bersama seorang pria yang disayanginya. Tak masalah pria itu bukan miliknya. Seperti cinta itu sendiri, Paris bukan cuma punya sepasang kekasih atau suami istri. Paris juga milik mereka: Ia dan pria itu. Ia yakin, sampai kapan pun, they will always have Paris...


***

Wednesday, December 1, 2010

Bad boys, bad boys.. Whatcha gonna do when they come for you?

Dalam perjalanan menuju ke kantor di suatu pagi yang cerah, saya berbincang-bincang dengan seorang sahabat wanita.


"Bow, kita emang suka sama bad boys dan we love to date bad boys, but eventually we should only marry good boys...” cetus sahabat saya.


Saya pun langsung menyahut, “Setuju! Gw juga gak tau kenapa selalu tertarik sama bad boys, kayaknya mereka lebih menantang aja gitu, hehehe. Setiap mau dikenalin sama cowok, kalau promosinya cowok itu orang baik-baik dan alim, kok gw malah gak tertarik ya? Kayaknya gak seru and boring aja gitu cowok baik-baik...”


Saya tidak tahu persis apa definisi teman saya tentang bad boys, tapi pengertian bad boys versi saya bukan semata-mata cowok bandel yang suka membangkang atau melanggar aturan. Menurut saya, cowok bad boys itu adalah cowok yang hidupnya tidak selalu lurus sesuai jalur tapi lebih spontan mengikuti kata hati. Mereka suka berpetualang, tidak konservatif, berani mencoba hal-hal baru dan punya pola pikir yang out of the box. Mereka juga tahu cara memikat hati wanita, bisa dengan kata-kata (misal dengan pujian dan rayuan yang intelek, bukan sekedar gombal belaka) dan juga dengan tindakan (contohnya sering memberi kejutan-kejutan yang tidak disangka – dan ini tidak selalu berarti dalam bentuk barang, tapi juga sekedar tindakan). Singkat cerita, mereka piawai membuat hidup ini jadi lebih 'hidup' dan berwarna!


Karena spontan dan tidak mudah ditebak, cowok jenis ini punya daya pikat yang misterius. Mereka pun jadi lebih menantang bagi saya ketimbang good boys yang, menurut pendapat saya (bisa jadi definisi orang lain tentang good boys berbeda), sudah bisa ditebak pola pikirnya dan tingkah lakunya. Good boys di mata saya cenderung selalu berpikiran lurus dan go by the rules. Mereka tidak terlalu berani mencoba hal-hal baru, karena takut akan dianggap menyimpang misalnya. Bagi saya, cowok-cowok seperti ini kurang menarik dan cenderung membosankan.


Sebagai orang yang suka spontanitas dan mencoba hal-hal baru, rasanya tipe bad boys inilah yang paling tepat jadi pasangan saya. Tapi tentu mereka juga punya kekurangan. Karena daya tarik mereka yang memukau, meski sudah punya pasangan seringkali mereka tetap jadi idaman banyak wanita lain. Akibatnya ada sebagian dari mereka yang memanfaatkan kondisi ini dengan meladeni perempuan-perempuan lain selain pasangan mereka. Atau bisa jadi karena ingin hidup mereka selalu dinamis, cowok tipe bad boys cenderung cepat jenuh saat berhubungan hanya dengan satu orang wanita. Jadi, Mereka punya tendensi tidak setia terhadap pasangan mereka. Biasanya tipe bad boys baru akan setia terhadap satu orang bila sudah menemukan perempuan yang bisa mengunci hati mereka, dalam artian bisa 'meng-handle' atau menaklukkan mereka.


Saya sendiri paling tidak suka diselingkuhi. Saya tahu, bukan berarti good boys tidak akan selingkuh. Untuk yang satu ini tentu tergantung dari masing-masing individu, terlepas ia tipe bad boys atau good boys. Namun mungkin resiko diselingkuhi lebih besar bila bersama bad boys. Tapi meski menyadari hal ini, rasanya masih sulit bagi saya kalau harus merubah mindset untuk mulai lebih menyukaigood boys ketimbang bad boys. Yang terlintas di pikiran adalah hidup bakal monoton dan membosankan.


Nah, yang jadi pertanyaan, kalau pola pikir saya terus menerus begini bagaimana dong saya bisa menikah dengan good boys seperti saran teman saya dalam percakapan kami di atas?


Well, mungkin solusinya adalah: saya harus bertekad bisa menaklukkan seorang bad boy! Tapi tujuannya bukan merubah dia menjadi seoranggood boy ketika menikah dengan saya (karena bagi saya kok tetap membosankan ya menghabiskan hidup dengan good boy versi saya itu). Makanya, saya cuma ingin menundukkan si bad boy, supaya bisa jadibad boy yang setia kepada! Saya sadar untuk itu saya musti punya keahlian khusus agar bisa mengunci hati sang bad boy. Nah, ini dia yang masih harus terus saya pelajari.... :)


***


Bad boys, bad boys whatcha gonna do whatcha gonna do? When they come for you?

Bad boys, bad boys whatcha gonna do? Whatcha gonna do whatcha gonna do when they come for you?


-- Bob Marley


Jakarta, 1 Desember 2010

01.00 AM

Monday, November 15, 2010

Usikan Si Berat Badan

"Makin gendut aja Bu..."

"Elo gendutan ya?"

"Kayaknya loe perlu mulai olahraga lagi deh, Mir.."



Dua minggu belakangan ini, komentar-komentar di atas akrab di telinga saya. Saya pun tidak menyalahkan pendapat-pendapat tersebut. Sejak pulang ke tanah air setelah tinggal di Belanda selama satu tahun, saya memang merasa badan saya sedikit membengkak. Namun, saya belum sempat menimbang berat badan secara seksama, sehingga tidak tahu berapa kilogram berat badan saya telah naik. Jujur saja, saya khawatir akan terus menerus kepikiran bila tahu berat badan saya sudah melampaui angka 60 Kg (dan saya yakin memang demikian, hehe).



Meski begitu, ada juga beberapa komentar yang lebih netral, seperti: "Bagus ya, elo gak gendutan di sana, badan loe sama aja kayak sebelum berangkat.." atau "Sedang nih badan loe segini, gak kegendutan, gak kekurusan..".



Bila dicermati, semua pendapat tersebut bermuara pada satu kesimpulan: berat atau bentuk badan dianggap mempengaruhi penampilan seseorang. Saya pribadi senang bila badan saya mengecil karena penampilan pun akan enak dilihat saat memakai kaos yang agak ketat, dress atau kebaya. Sebaliknya, kalau badan sedang membesar, akan tampak 'lipatan' di sana sini saat memakai model baju tertentu, yang menyebabkan penampilan jadi kurang enak dipandang. Kalau sudah begini saya pun kecewa karena tak bisa mengikuti trend mode yang kebanyakan dirancang untuk orang-orang yang bertubuh langsing. Jadi, ya, saya juga termasuk orang yang sadar bahwa bentuk badan mempengaruhi penampilan dan sebisa mungkin saya selalu berusaha tampil menarik.



Hanya saja, selama setahun berada Belanda, saya tak pernah terusik oleh masalah berat badan dan bentuk tubuh. Tak pernah sekali pun saya menerima komentar (baik dari orang Belanda asli, orang asing lain, maupun orang Indonesia yang tinggal di Belanda) yang mengatakan saya menggendut atau mengurus. Kalaupun ada pendapat yang dilontarkan terkait penampilan, tidak pernah menyangkut berat/bentuk badan. Misalnya:"Kamu terlihat cantik hari ini..", "Kamu tampak segar dan sehat...", "Baju ini cocok buat kamu..."atau "Kamu agak pucat, kamu lelah ya?".



Saya belum pernah menjumpai orang-orang di Belanda yang gemar mengomentari berat/bentuk badan orang lain. Kecuali bila si empunya badan duluan mengeluh kegendutan atau kekurusan, barulah mereka akan memberi saran diet atau olahraga yang cocok bagi orang tersebut. Tapi tak pernah ujug-ujug. Bagi mereka, selama sang pemilik badan tidak protes, masalah berat badan orang lain bukan urusan mereka. Ditambah lagi, karena struktur tubuh orang Belanda rata-rata tinggi besar, ukuran baju yang dijual di toko-toko pun menyesuaikan. Bila di Indonesia saya biasa memakai ukuran M atau L (saat berat badan 55 Kg misalnya), di sana baju berukuran S (bahkan terkadang XS) atau M muat untuk saya. Alhasil, saya tak kesulitan mencari baju dengan model-model yang trendy dan tetap bisa tampil gaya walaupun bentuk badan saya mulai membesar. Jadi, wajar kan, bila satu tahun di Belanda saya jarang direpotkan dengan urusan berat badan?



Namun, setelah kembali ke Indonesia, si berat badan yang sudah satu tahun ini absen mengganggu saya, kembali mengusik. Saya mendapat kesan, di sini sepertinya wajib bagi perempuan untuk menjaga bentuk badan ideal. Meski tidak diungkapkan secara langsung, tapi hampir semua komentar yang saya terima mengisyaratkan bahwa saya akan tampak lebih menarik bila badan saya tidak membesar atau bahkan jika lebih kurus. Akibatnya, saya pun 'dipaksa' untuk kembali memperhatikan berat badan. Kebanyakan orang juga beranggapan, perempuan yang kelebihan berat badan pasti ingin menurunkan berat badannya. Mereka berasumsi perempuan tersebut akan lebih bahagia bila berat badannya ideal. Padahal, apakah benar demikian? Bila melihat orang yang tampak kelebihan berat badan, pernahkah Anda terpikir, bisa jadi ia sebenarnya tak pernah punya niat untuk menurunkan berat badan karena merasa tak ada yang salah dengan kondisi tubuhnya?



Saya pribadi punya sejumlah pengalaman terkait usaha menurunkan berat badan. Karena tak terlalu gemar berolahraga dan sering tidak punya waktu untuk itu, saya memilih metode diet untuk menghilangkan lemak-lemak dalam tubuh. Sejak lima tahun yang lalu (dalam jangka waktu ini berat badan saya selalu turun naik di kisaran 52 sd 63 Kg. Tinggi saya 158 cm), saya sudah mengikuti tiga program diet yang berbeda. Tahun 2005, saya mencoba metode akupuntur atau tusuk jarum. Hasilnya, dalam tiga bulan berat badan saya turun 8 kilogram. Yang kedua, tahun 2007 (karena tak dijaga, dalam dua tahun berat saya kembali naik) saya diet dengan berkonsultasi kepada ahli gizi. Dalam waktu dua setengah bulan, berat badan saya menyusut sekitar 7 kilogram. Yang terakhir, tahun lalu saya mencoba totok langsing. Berat saya sempat berkurang hingga 3 kilogram dalam beberapa minggu. Semua upaya tersebut saya jalani karena didorong motivasi internal dan eksternal. Internal, karena saya ingin merasa lebih percaya diri saat memakai baju yang modelnya menonjolkan bentuk tubuh. Sementara dorongan dari luar, karena banyak orang yang berpendapat badan saya menggemuk, dan tidak munafik, dengan menurunkan berat badan, saya ingin mendengar pujian yang berkomentar: "Badan kamu bagus deh sekarang, kurusan...".



Tentu saja, semua upaya itu juga menuntut pengorbanan biaya dan tenaga yang tak sedikit. Per program yang saya ikuti, saya harus rela megeluarkan kocek hingga 4,5 juta rupiah. Ketiga metode penurunan berat badan itu pun harus diiringi diet super ketat. Jujur, saat menjalaninya saya merasa tersiksa dan sengsara karena tak bisa menikmati makanan-makanan kesukaan saya seperti cokelat, kue-kue manis, gorengan, mie, pasta, keju, susu, junk food, es krim, frappuccino, dan lain-lain. Saya merasa tidak menjadi diri sendiri saat berdiet. Karena pada dasarnya, saya adalah orang yang gemar makan apa saja dan berani mencoba jenis-jenis makanan yang berbeda.



Besok adalah hari pertama saya masuk kantor setelah satu tahun cuti di luar tanggungan. Besar kemungkinan, saya akan menerima banyak komentar tentang tubuh saya yang menggendut. Pertanyaannya bagi saya adalah, haruskah saya menanggapi komentar-komentar tersebut dengan mulai berdiet kembali demi menurunkan berat badan?



Saya lalu mematut diri di depan cermin. Hari ini saya memakai skinny jeans berwarna biru tua yang dipadu dengan kaos ketat lengan pendek dan rompi berbahan kaos dengan warna yang serupa. Hhhmm, menurut saya, saya masih terlihat cantik dan menarik kok. Memang sih, di beberapa bagian, bentuk tubuh saya tidak melekuk sebagaimana mustinya (mungkin kalau berat badan saya dikurangi 3-5 Kg barulah pakaian tersebut akan lebih pas membentuk tubuh). Tapi saya tidak merasa bahwa sosok yang ada di cermin ini mengganggu pandangan mata. Saya masih merasa nyaman berada di dalam tubuh perempuan yang terpantul dari cermin tersebut.



Jadi, saya berkesimpulan, melalui semua kerepotan untuk menurunkan berat badan, belum akan menjadi prioritas saya saat ini. Lagi pula, saya pikir saya gak pernah kok, tidak dapat pacar misalnya, gara-gara kelebihan berat badan. Bahkan seingat saya, saya memulai hubungan kebanyakan di saat badan saya sedang membengkak. Kasarnya, saya gak pernah gak 'laku' karena badan saya tidak langsing. Hal lainnya, Alhamdullilah masalah kelebihan berat badan saya sejauh ini tidak terkait dengan urusan kesehatan (saya sadar kelebihan berat badan terkadang erat kaitannya dengan penyakit, seperti kolesterol tinggi dan obesitas misalnya). Saya belum sempat melakukan General Check Up, tapi terakhir diperiksa, kadar kolesterol saya masih normal.



Saya semakin yakin, saya belum akan berdiet lagi! Kalaupun ada rencana yang saya punya terkait tubuh, saya hanya akan mencoba rutin berolahraga. Tapi tentu saja olahraga tujuannya bukan semata-mata demi menurunkan berat badan, tapi untuk menjaga kebugaran dan kesehatan secara keseluruhan.



Yang paling penting, ada satu pelajaran beharga yang saya petik dari pengalaman saya di Belanda terkait soal berat badan. Kalau yang punya badan saja masih merasa nyaman dan tidak ada masalah dengan bentuk badannya, kenapa orang lain musti protes?



***



“Someone's opinion of you does not have to become your reality.” -- Les Brown



“Beauty is how you feel inside, and it reflects in your eyes.” ~ Sophia Loren



“It’s a mind game, not a body game.” ~Gabby Sidibe


***



Jakarta, 15 November 2010

00.42 AM