Thursday, December 22, 2011

Bubur Ayam, Sandal Sepatul Biru & Arti Berbagi

Adakah hubungan antara bubur ayam, sepasang sandal sepatu biru dengan arti berbagi ? Ada. Dan bagi saya, ketiganya punya kisah yang saling berkaitan.


Begini ceritanya. Di suatu pagi yang cerah dalam perjalanan menuju ke kantor, saya dan Adji berhenti sejenak untuk sarapan. Pilihan kami jatuh ke Bubur Ayam Jalan Tanjung di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Bubur ayam ala kaki lima ini memang sudah jadi langganan saya sejak duduk di bangku SMP dan masih tinggal di rumah almarhum kakek di pinggiran Menteng. Suwiran ayamnya yang gurih dan sambal cabainya yang pedas, kerap membuat saya ketagihan.


Setelah memarkir mobil dengan rapi, kami lantas memesan dua mangkok bubur ayam. Sejurus kemudian, mata kami menangkap sosok seorang pemuda yang tengah duduk di pinggir trotoar. Usianya mungkin sekitar 30 tahun. Di sebelahnya tergeletak kotak yang terbuat dari kayu. Saya langsung tahu, ia adalah tukang semir sepatu yang biasa menawarkan jasa kepada pembeli bubur ayam. Tak salah ia memilih mangkal disini, karena sebagian besar penikmat bubur ayam ini adalah pekerja kantoran yang sengaja mampir untuk mengisi perut sebelum ke kantor. Bisa jadi, mereka lupa membersihkan atau menyemir sepatu sehingga bergunalah jasa si tukang semir.


Spontan Adji membuka jendela mobil dan menyapa si tukang semir. "Mas, saya pesanin bubur ya? Belum makan kan?". Si tukang semir menjawab, "Gak usah, Mas. Kalau mau saya bersihin aja sepatu Mas." Adji masih memaksa "Gak apa-apa, Mas, pesan aja..." Si Tukang semir tetap bersikukuh "Jangan, Mas. Saya sikatin aja sepatu Mas ya." Katanya sembari menghampiri mobil kami.


Sayangnya, hari itu Adji tidak sedang memakai sepatu rapi. Ia cuma menngenakan sandal gunung. "Kamu mau?" Tanya Adji kepada saya. Saya pun melirik ke arah kaki. Saya juga tidak sedang memakai sepatu tertutup. Telapak kaki sayang dilindungi sandal sepatu berwarna biru merek Crocs yang talinya terbuat dari sejenis kain. Dari luar sandal sepatu itu masih tampak bersih. Namun saya pikir tak ada salahnya juga bila dibersihkan. Saat melepaskan sandal barulah saya ingat di bagian dalamnya ada noda kotor yang belum berhasil saya hilangkan. Memang saya akui, saya kurang berusaha keras membersihkannya. Saya pikir yang penting sandal tersebut nyaman dipakai dan dari luar tampak bersih penampilannya.


Pesanan kami datang. Saat kami makan di mobil, si tukang semir duduk persis di trotoar samping mobil kami. Ia menyikat tiap sudut sandal saya dengan sabun lalu mengelapnya hingga bersih. Usai makan, Adji keluar dari mobil untuk merokok. Sayup-sayup saya mendengar Adji dan si tukang semir ngobrol tapi saya tak bisa menangkap isi pembicaraan mereka.


Selesailah sandal saya dibersihkan. Si tukang semir lantas memperlihatkan setiap sisi sandal sepatu biru itu. Saya lihat, noda di dalamnya telah raib. Sandal saya tampak seperti baru. Setelah membayar bubur, Adji memberikan upah kepada si tukang semir. "Terima kasih, Mas." Kata si tukang semir sambil tersenyum.


"Tadi dia cerita sama aku, kalau dia menolak dibeliin bubur karena pernah punya pengalaman buruk. Dulu dia pernah terima uang dari pembeli bubur tanpa menjual jasa. Dia lalu dimarahi satpam setempat dan dituding mengemis. Sejak itu, dia gak pernah lagi mau terima uang secara cuma-cuma. Dia bertekad harus bekerja untuk dapat uang." Cerita Adji saat kami melanjutkan perjalanan ke kantor.


Saya langsung tersentak. Si tukang semir begitu bersemangat melakukan pekerjaannya yang jelas lebih banyak mengerahkan tenaga fisik. Saya hampir yakin, saat tidak sedang mencari nafkah, ia pun kerap menggunakan fisiknya untuk menyelesaikan pekerjaan lain. Saya lalu membandingkan dengan diri sendiri. Saya sering mengeluh malas saat berangkat ke kantor. Padahal profesi yang saya jalani tidak menguras tenaga fisik seberat si tukang semir. Di rumah pun kadang saya malas beres-beres. Contohnya, saya tidak pernah berusaha keras untuk membersihkan noda di bagian dalam sandal sepatu saya ini. Padahal di tangan si tukang semir, tak sampai lima menit, noda tersebut bisa hilang. Saya jadi malu pada diri sendiri.


"Aku tadi sengaja manggil dia nawarin bubur, karena aku lihat dia elus-elus perut. Kasihan, dia tampak kelaparan..." Adji menambahkan.


Ah sungguh. Indahnya berbagi di pagi hari itu. Lebih nikmat dari semangkok bubur ayam panas yang telah mampu mengganjal perut saya sebelum bekerja di awal hari itu. Karena selain kepuasan batin dan pelajaran berharga yang didapat, sandal sepatu biru kesayangan yang nyaman mengiringi langkah saya berakivitas pun akhirnya kembali bersih bak sepatu baru.


***


"You only keep what you give away." -- R.E. Philips


“Our best thoughts come from others.” -- Ralph Waldo Emerson


Jakarta, 12 Desember 2011

02.35 AM

Tuesday, November 1, 2011

Follow your heart vs Collectivism

"When in doubt, just follow your heart."

Bila ragu, ikuti saja kata hatimu. Begitu kata banyak orang.

Saya sendiri selalu berusaha menerapkan prinsip tersebut setiap hendak mengambil sebuah keputusan. Namun entah mengapa, akhir-akhir ini saya tak bisa meraba kemana hati saya bergerak. Bahkan saya sulit mendengar apa yang ia ucapkan. Kalaupun mendengar, seringkali saya tak paham apa yang ia maksud.

Berada dalam kondisi seperti ini membuat saya berpikir keras. Apa kira-kira penyebab sulitnya saya mengikuti kata hati belakangan ini? Dan tiba-tiba saja, saya mengaitkannya dengan kenyataan bahwa saya hidup di dalam budaya kolektivis.

Bila anda masih asing dengan istilah tersebut, biar saya jelaskan sedikit. Saya sama sekali bukan ahli sosiologi, tapi kebetulan saya pernah cukup akrab dengan istilah ini saat belajar mata kuliah Culture & Communication. Menurut Geert Hofstede, seorang ahli antropologi dan psikologi sosial asal Belanda, lawan dari budaya individualis adalah budaya kolektivis dimana sejak lahir seseorang otomatis langsung terikat dengan suatu kelompok yang biasanya adalah keluarga luas (mencakup paman, bibi, kakek-nenek). Keluarga luas inilah yang akan terus menjaganya, namun sebagai imbalan, mereka menuntut kesetiaan yang tak bersyarat dari individu yang bersangkutan. Ayn Rand, seorang ahli filsafat asal AS menambahkan, budaya kolektivis menuntut pengorbanan dan kesediaan untuk mengalah terhadap kepentingan orang lain.

Lantas apa kaitan prinsip follow your heart dengan budaya kolektivis? Bisa jadi, karena ikatan yang kuat dengan kepentingan orang lain, prinsip follow your heart sulit dijalankan secara murni dalam budaya kolektivis. Pasalnya, setiap keputusan yang akan seseorang ambil seringkali diupayakan agak tidak merugikan atau menyakiti orang lain bahkan kalau bisa justeru menguntungkan atau menyenangkan bagi (terutama) orang-orang terdekat. Akibatnya, dalam mengambil keputusan, kepentingan orang lain menjadi salah satu unsur yang wajib djadikan bahan pertimbangan.

Contohnya beragam, kata hati Anda ingin menikah dengan pria/wanita idaman, namun orang tua punya kriteria lain. Kebanyakan cerita dalam budaya kolektivis, anda akan berpisah dengan sang kekasih dan terpaksa mengikuti kehendak orang tua. Anda masih ingin melakoni pekerjaan impian yang memang sering menuntut untuk lembur, tapi suami ingin Anda mengurus rumah tangga saja. Kasus lain, Anda belum ingin menikah, tapi semua mata sekan-akan menyuruh Anda untuk segera melepas masa lajang karena sudah sepantasnya (menurut mereka). Hidup dalam budaya kolektivis, bukan tak mungkin Anda akhirnya ikut uring-uringan meskipun kata hati Anda sebenarnya belum siap untuk menikah.

Bila akhirnya saya misalnya tetap mengikuti kata hati dan mengalahkan kepentingan orang lain, ada dua kemungkinan. Jika ternyata pilihan saya tepat, maka orang-orang sekitar pun ikut senang dan orang-orang yang turut menyumbangkan saran sesuai kata hati saya mungkin akan berkata, "Tuh kan benar, apa kata saya!". Tapi, bila pilihan saya salah, kalimat yang persis sama juga bisa saja saya dengar, namun dengan nada yang sumbang. Kalau ada lanjutannya kira-kira akan seperti ini, "...salah sendiri, udah dibilangin yang benar masih keukeuh..". Menyebalkan ya. Oke lah, pilihan saya salah, tapi saya kan cuma mencoba mengikuti kata hati saya.

Seorang sahabat wanita yang dikenal berpribadian sinis pernah berkata "Persetan dengan orang lain. Pada akhirnya elo sendiri yang ngejalanin hidup loe. Jadi jangan pernah ragu untuk ikutin kata hati loe." Saya sangat setuju dengan pendapatnya. Dan saya juga pernah merasakan betapa lebih bebasnya mengikuti kata hati saat tinggal di negara individualis seperti Belanda atau AS. Menyenangkan memang, karena saya jauh dari orang-orang terdekat sehingga saya bebas memutuskan apa saja sesuai kata hati tanpa harus memikirkan kepentingan mereka. Yang penting pilihan saya bisa saya pertanggungjawabkan. Namun, jujur mungkin karena dasarnya saya tumbuh dan besar dalam budaya kolektivis, di saat-saat itu saya juga kadang rindu sekedar meminta masukan dari sahabat-sahabat terdekat. Akhirnya video call melalui Skype atau YM menjadi ajang curhat antar benua. Ujung-ujungnya, saran mereka pun tetap saya jadikan pertimbangan.

Saya tahu, kata hati sejatinya tidak pernah salah. Kata hati pada akhirnya akan menuntun ke keputusan yang tepat. Hanya saja jalan yang harus dilewati untuk menuju kesana tak selamanya mulus. Tapi, bukankan itu yang namanya hidup?

So, always trust your heart. Dan pergilah kemana ia menuntunmu. Meskipun, mungkin.. hanya mungkin, untuk bisa konsisten mengikuti kata hati di tengah budaya kolektivis, butuh pribadi seteguh dan setangguh Nelson Mandela yang pernah mengutip bait puisi karya penyair asal Inggris Willian Ernest Henley:

"I am the master of my faith, I am the captain my soul... "

***

Jakarta, 20 Oktober 2010

11.53 PM

Tuesday, August 9, 2011

Siapa Takut Jatuh Cinta ?

Akhir-akhir ini saya takut jatuh cinta.

Alasannya beragam, namun klise. Saya pernah jatuh cinta lalu diselingkuhi. Saya juga pernah jatuh cinta tapi tidak bisa berlanjut karena dipisahkan oleh keyakinan. Jatuh cinta pada pacar orang, juga pernah saya alami. Kisah cinta tak berbalas, pun pernah menimpa saya.

Di tengah-tengah perasaan skeptis saya terhadap yang namanya 'jatuh cinta', saya membaca tulisan Dee yang berjudul 'Menunggu Layang-Layang'. Tulisan tersebut adalah salah satu cerita pendek yang ada dalam buku terbarunya, 'Madre'. Berkisah tentang persahabatan lawan jenis antara Christian dan Starla. Mereka punya kepribadian yang sangat berbeda. Christian adalah seorang arsitek yang nyaman dengan rutinitas, sementara Starla yang bekerja sebagai desainer interior adalah pecinta spontanitas. Christian kerap membentengi dirinya agar tidak mudah jatuh cinta sedangkan Starla gemar berganti-ganti pasangan. Uniknya, setiap akhir pekan mereka punya kebiasaan nonton film di bioskop yang sama. Namun, Christian selalu datang sendiri sementara Starla menggandeng teman kencan yang berbeda setiap minggunya.

Seperti kisah cinta lainnya, akhirnya bisa ditebak, Christian dan Starla saling jatuh cinta. Ternyata orang yang mereka cari selama ini justru sudah ada di depan mata. Ada dialog antara Christian dan Starla yang menggelitik saya.

“... Kamu ingin cinta, tapi kamu takut jatuh cinta. But you know what? Kadang-kadang kamu harus terjun dan jadi basah untuk tahu air, Che. Bukan cuma nonton di pinggir dan berharap kecipratan..,Kata Starla. Che adalah panggilan Starla untuk Christian.

Setelah menjawab panjang lebar, Christian membalas, “...Nah, kembali ke analogimu tentang air. Kamu memang terjun ke air. Tapi kamu pakai baju selam...”

Sesaat Starla terdiam, lalu ia menjawab “Kamu benar. Ternyata kita sama Che, aku dan kamu sama-sama manusia kesepian. Bedanya aku mencari, kamu menunggu”

Saya sendiri pernah cuma diam menunggu cinta datang seperti Christian dan pernah juga gencar mencarinya seperti Starla. Tapi, sama seperti Starla. walaupun berani terjun ke air, saya selalu pakai baju selam. Saya tak pernah berani terjun tanpa pelindung.

Apa yang membuat saya begitu takut? Bagi saya pribadi, 'baju selam' tersebut adalah perumpaan bagi kriteria-kriteria yang saya jadikan pelindung sebelum memutuskan untuk jatuh cinta. Boleh saja saya jatuh cinta, tapi hanya terhadap seseorang yang punya beragam kriteria yang sudah saya tentukan. Akibatnya, saya harus menunggu sampai ada seseorang yang memenuhi semua kriteria tersebut. Atau bisa saja saya mencoba jatuh cinta pada seseorang yang cuma memenuhi sebagian dari semua kriteria tersebut, namun saat menjalaninya saya tetap pakai 'baju selam'. Saya belum rela untuk terjun apa adanya bila kriteria-kriteria itu belum terpenuhi semua. (Saya pernah buat tulisan tentang ini: http://www.facebook.com/note.php?note_id=159226157424645).

Ribet ya? Memang. Bahkan seorang atasan pun pernah mencetus kalau saya punya kriteria yg kompleks. Contohnya saya ingin pasangan saya idealis tapi gaul. Sulit kan? Tak heran kalau saya jadi susah jatuh cinta bila terus berpatokan pada kriteria-kriteria itu.

Setelah mendengar kata atasan saya dan membaca cerita Dee, saya pun memutuskan untuk mencoba terjun ke air apa adanya, tanpa baju selam atau alat pelindung apa pun. Namun, tentu ada hal lain yang lebih kuat mendorong saya untuk akhirnya tak takut tenggelam.

Saya membandingkan dua peristiwa bertolak belakang yang pernah saya alami.

Dulu, ada seseorang yang memutuskan untuk membuang saya dari hidupnya dengan berkata “Setelah saya nilai ternyata kamu tidak memenuhi kriteria yg saya punya untuk seorang pasangan. Karenanya saya memutuskan untuk tidak menyukaimu lebih lanjut.”

Jujur, ucapan itu sempat mengikis rasa percaya diri saya. Saya marah karena merasa tidak dihargai tapi di saat yg sama saya juga sedih karena merasa tidak berharga. Tidak sebentar saya bisa membangun kembali percaya diri saya, bahwa saya adalah orang yang patut disukai.

Lalu, beberapa waktu berselang, ada seseorang lain yang ingin mengajak saya mengisi hari-harinya dengan berkata “Kamu membuat saya nyaman.”

Singkat. Dan sederhana. Tapi kalimat itu mampu membuat saya rela mencoba menanggalkan semua kriteria yang saya buat dan berani terjun ke air tanpa baju selam.

***

Jakarta, 8 Agustus 2011

02.05 AM

Thursday, June 23, 2011

Bandara Schiphol, Ulang Tahun Saya & Semuanya...

Bandara Schiphol - Amsterdam, Belanda

Rabu, 1 Juni 2011


Jam di tangan saya menunjukkan pukul 7 malam. Sementara waktu di Jakarta yang lebih cepat lima jam dari Amsterdam, tepat pukul 12 malam memasuki tanggal 2 Juni. Itu artinya, saya resmi berulang tahun! Ya, notifikasi Facebook dan BBM dari beberapa teman pun langsung menyadarkan saya akan dua hal: umur telah bertambah dan jatah hidup berkurang.


Saya sedang berada di ruang boarding, menunggu keberangkatan pesawat KLM yang akan membawa saya kembali ke Jakarta. Berulang tahun di bandara yang jaraknya hampir 12.000 kilometer dari tanah air memang baru sekali dalam hidup saya alami. Kesannya sudah pasti berbeda. Namun, bukan cuma sekali bandara Schiphol memberi kesan bagi saya. Saya mungkin sudah lupa tanggal pastinya tapi saya masih ingat jelas setiap perasaan yang pernah saya punya saat berada di bandara yang terletak di sebelah barat daya kota Amterdam ini.


Ingatan saya pun melayang ke serpihan- serpihan peristiwa itu. Lalu hati saya pun ikut bercerita dan merangkum semuanya...


***


Pertengahan September 2007

"Dames en Heren, welkom in Amsterdam..."

Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari 14 jam, akhirnya pesawat yang saya tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Schiphol. Hanya satu kata yang menggambarkan perasaan saya saat ini: Excited! Wajar saja, inilah pertama kalinya saya menginjak tanah Eropa. Saya akan mengikuti kursus Broadcast Journalism di RNTC, Hilversum, selama tiga bulan.


Setelah turun dari pesawat, melalui imigrasi dan mengambil bagasi, saya mengikuti arahan Henk Baard, sang Course Leader, dalam emailnya. "On arrival please go to the MEETING POINT in the Arrivals Hall. You will be met there by our taxi driver (he will be holding up a board with RNTC on it) and brought to the Guesthouse where you will be staying....."


Awal Desember 2007

25 kg. Angka itulah yang muncul setelah saya meletakkan koper di timbangan saat check-in untuk penerbangan KLM tujuan Kuala Lumpur-Jakarta. Itu artinya saya kelebihan 2 kg (jatah bagasi KLM kelas ekonomi 23 kg).


Masih diselimuti perasaan sedih, saya berusaha memindahkan sejumlah barang dari koper ke tas kabin. Ya, saya sedih, karena harus berpisah dengan dia. Padahal baru tiga hari belakangan ini kami semakin akrab. Sejak kursus dimulai saya sudah menyukainya. Saya rasa, ia juga begitu. Namun entah mengapa ia baru punya keberanian mengajak saya kencan justru menjelang kursus berakhir. Kami jadi tak punya kesempatan mengenal satu sama lain lebih dalam karena harus kembali ke negara masing-masing. Dan tampaknya ia bukan tipe pria yang rela bersusah payah menjalin hubungan yang dipisahkan lautan.


Ah, sudahlah. Yang pasti satu malam dingin di stasiun Amsterdam Arena itu akan selalu menjadi kenangan manis yang tak akan saya lupakan.


Akhir September 2009

Touchdown Schiphol! Udara dingin langsung menyambut kedatangan saya ke Negeri Kincir Angin. Persis seperti 2 tahun yang lalu. Bedanya, kini saya tiba dengan perasaan campur aduk, bukan cuma excited. Saya senang bisa berada di Belanda lagi untuk kuliah selama satu tahun, tapi saya ragu dan khawatir menjalaninya karena ibunda tercinta belum sepenuhnya merestui kepergian saya kali ini. Dalam hati saya bertekad, saya harus membuktikan kepada Mama bahwa apa yang akan saya tempuh disini bakal bermanfaat bagi kami sekeluarga. InsyaAllah.


Berbeda dengan 2 tahun lalu, saya tidak dijemput di Meeting Point. Saya harus naik kereta ke Den Haag. Untungnya, stasiun kereta Schiphol terintegrasi dengan bandara sehingga tidak saya tidak perlu repot-repot mencarinya. "One way ticket to Den Haag Holland Spoor, please..." kata saya kepada penjual tiket.


Akhir April 2010

Kami masih berpelukan erat. Sesekali kami juga berciuman. Di saat lain kami hanya saling pandang. Sungguh, saya ingin waktu membeku. Supaya saya tak perlu pergi dari saat ini.


Namun saya harus melepaskannya. Sudah waktunya ia pulang ke kampung halaman. Sementara saya masih punya sekitar 6 bulan lagi disini. Padahal semalam, pertama kalinya tiga kata magis itu terucap dari mulutnya. "I love you," katanya. Tidak, kami tidak pacaran. Banyak hal yang menghalangi sehingga kata komitmen tak bersahabat dengan kami. Tak apa, saya senang pernah menghabiskan hampir semusim bersamanya disini.


Sebentar lagi pesawat yang akan ditumpanginya berangkat. Bahkan waktu boarding pun telah lewat. Ia mengecup kening saya sebelum akhirnya beranjak meninggalkan saya. Saya hanya berharap ia selalu ingat pesan saya, "Please remember me with a smile..."


Akhir September 2010 (1)

Saya berada di Terminal 3, mengantar seorang teman wanita yang akan pulang ke Jakarta. Di tempat yang sama dimana saya pernah melepasnya. Peristiwa 5 bulan silam itu masih terekam jelas di benak saya


Tapi kini yang ada cuma perasaan hampa. Sejak beberapa jam lalu, sudah tak ada lagi 'saya dan dia'. Akhirnya kami bisa berdamai dengan komitmen. Ya, komitmen untuk mengakhiri semuanya.


Di detik ini, di tempat ini, rasanya ada sebagian dari diri saya yang hilang.(Disini, Dulu & Saat Ini)


Akhir September 2010 (2)

Saya senang. Hari ini Mama dan adik perempuan saya akan tiba di Belanda. Mereka datang untuk menghadiri wisuda saya bulan depan, sekaligus berlibur.


Saya menunggu mereka tepat di pintu keluar terminal kedatangan. Saya selalu suka suasana di sini. Orang-orang berpelukan hangat, saling melepas rindu. Yang tergambar cuma perasaan bahagia. Tak ada yang lain.


Ah. itu mereka! Orang-orang yang rindukan. Akhirnya setelah satu tahun berpisah, kami berkumpul lagi.


Akhir October 2010

Pesawat Malaysia Airlines yang seharusnya membawa saya kembali ke Jakarta, mengalami kerusakan tehnis. Akibatnya para penumpangnya dipindahkan ke beberapa maskapai lain. Saya kebagian Garuda Indonesia.


Cukup menyenangkan. Saya mendapat tempat duduk yang nyaman di sisi jendela. Ditambah lagi, tak ada penumpang lain di sebelah saya, jadi saya bisa bergerak dengan leluasa.


Hari ini saya kembali ke tanah air. Sedih meninggalkan Den Haag yang sudah satu tahun menjadi rumah saya, tentu saja. Tapi saya optimis, suatu hari nanti saya akan kembali ke Belanda.


Pesawat pun mengudara. "Til we meet again, Holland!"


Akhir Mei 2011

Horee... saya pulang kampung! Tampaknya Belanda memang tak bisa lama-lama melepaskan saya. Buktinya baru 7 bulan berpisah, ia sudah 'menuntut' untuk kembali bertemu dengan saya.


Kali ini saya datang untuk berpartisipasi dalam Holland Alumni Conference 2011. Saya satu pesawat dengan salah seorang peserta dari Indonesia, namun kami terpisah saat keluar dari pesawat. Kami sempat berjanji bertemu di Meeting Point untuk bersama-sama naik kereta ke Den Haag.


Setelah melalui imigrasi dan mengambil barang, saya melangkah menuju Meeting Point. Persis seperti 3,5 tahun yang lalu saat saya pertama kali tiba di Schiphol...


***


"Every time I was in Schiphol, I left a little piece of my heart. Thus, the bigger piece of it always yearn to reunite with the little pieces. However, each time I came back to Schiphol, another little piece of my heart wanted to remain there. That is why, I keep coming back to Schiphol... :)"


Jakarta, 19 Juni 2011

02.15 AM

Friday, June 17, 2011

Mungkin Saya Memang Berjodoh dengan Belanda...

"...Jadi, saya tak akan berkata "Selamat Tinggal Belanda" saat pesawat yang saya tumpangi take off dari Bandara Schiphol nanti. Saya cuma akan bilang "Til We Meet Again, Holland" :)..."


Kalimat diatas adalah penggalan paragraf terakhir dari tulisan yang juga saya muat di blog ini tanggal 23 Oktober 2010 silam (Saya Pasti Bakal Kangen Sama Belanda). Saat itu tiga hari menjelang kepulangan saya ke tanah air setelah menetap di Den Haag selama satu tahun.


And.. here I am now, in the same city, at this very moment. Sungguh, saya tidak menyangka kalau ucapan terakhir saya dalam note tersebut begitu cepat terealisasi. Hanya berselang tujuh bulan, saya sudah berjumpa kembali dengan Negeri Kincir Angin.


Selain cuacanya yang (memang selalu) tidak pernah bersahabat (karena kerap berubah-ubah), Den Haag tetap menyambut saya dengan hangat. Semuanya masih sama seperti saat saya tinggalkan. Bahkan saking familiar-nya saya sampai merasa tidak pernah meninggalkannya. Aktivitas saya disini sejak tiba hari Rabu, 25 Mei lalu sampai sekarang, seakan-akan hanya merupakan kelanjutan dari kegiatan sehari-hari. Saya merasa berada di rumah. Mungkin terdengar lebay, tapi itulah faktanya. Itulah yang saya rasakan.


Belanda memang punya arti khusus bagi saya. Alasannya, sejak tahun 2007 hingga sekarang, sudah tiga kali saya bolak balik ke Belanda. Dan perjalanan itu saya lakukan setiap dua tahun sekali. September 2007, saya berangkat ke Hilversum untuk mengikuti kursus Broadcast Journalism di RNTC selama 3 bulan. Dua tahun kemudian, saya mulai menetap di Den Haag untuk kuliah S2 selama satu tahun. Lalu tahun 2011 ini, saya bertolak ke Den Haag berpartisipasi dalam Holland Alumni Conference bersama 200 peserta dari 36 negara lainnya. Yang patut disyukuri, semua perjalanan tersebut gratis. Saya dibiayai untuk mengikuti program-program itu. Dan tentu saja, yang lebih menyenangkan lagi, mendapat kesempatan masuk ke negara Belanda, juga berarti berhak menjelajah ke 25 negara Schengen lainnya. Itu artinya, saya juga mendapat kesempatan menyalurkan hobitravelling saya ke negara-negara Eropa lain yang tentu lebih mudah dijangkau dari Belanda.


Ya, saya sadar, saya memang sangat patut bersyukur.


Tapi, sebenarnya apa rahasianya saya bisa begitu akrab dengan negara bekas penjajah ini?


Entahlah. Yang pasti untuk bisa mendapatkan kesempatan gratis, saya harus melalui proses seleksi. Tetap ada perjuangan disitu. Nothing comes for free, actually.


Namun, selebihnya, bisa jadi saya memang sekedar beruntung dengan sesuatu yang berkaitan dengan Belanda. Seperti mengutip perkataan seorang sahabat melalui BBM (yang sedikit 'sewot' saat tahu saya akan kembali ke Belanda), "You're one lucky bitch!"


Atau... sederhana saja.


Mungkin, hanya mungkin... Saya memang berjodoh dengan Belanda...


***


Den Haag, 31 Mei 2011

01.40 AM

Wednesday, May 4, 2011

Music To My Ears...


Bila ditanya soal hobi, biasanya jawaban pertama yang spontan keluar dari mulut saya adalah 'mendengarkan musik'. Saya hampir yakin, Anda pun akrab dengan aktivitas yang satu ini. Mendengarkan musik seakan sudah menjadi hobi sejuta umat.

“Music is a moral law. It gives soul to the universe, wings to the mind, flight to the imagination, and charm and gaiety to life and to everything.” - Plato

Pasti hampir tak ada hari yang Anda lewati tanpa mendengarkan musik. Cara menikmatinya, tentu tergantung kebiasaan masing-masing. Entah itu di kamar saat sedang siap-siap beraktivitas, saat bersantai di rumah, di mobil saat menyetir, di kendaraan umum (melalui MP3 dan sejenisnya), saat mengerjakan sesuatu di depan komputer, saat menonton televisi, saat makan/minum di cafe/restaurant, bahkan saat berjoged di tempat hiburan malam.

Saya pribadi terbilang penyuka hampir segala jenis musik. Ada musik yang saya nikmati karena sekedar cocok dengan suasana hati, tapi ada juga musik yang saya suka karena punya konteks tertentu. Misalnya, karena suka karakter musik atau penyanyi/band-nya, memiliki kenangan tersendiri, liriknya menggambarkan kondisi yang sama dengan yang saya alami atau hanya sekedar menyukai liriknya.

Beragam alasan bagi saya menggemari musik, namun yang pasti musik pernah membuat saya berjoged atau berdansa mengikuti alunannya, terbius diam (karena kagum dengan harmonisasi irama dan/atau vokal-nya) berteriak-teriak (saat bernyanyi di ruang karaoke atau melampiaskan kekesalan), tersenyum bahagia (saat diberi kiriman lagu oleh kekasih atau ingat kenangan indah), sampai menangis (bila mengingat kenangan sedih).

“Words make you think a thought. Music makes you feel a feeling. A song makes you feel a thought.” - E.Y. Harburg

Pengaruh hebat yang ditimbulkan oleh musik tak lain dan tak bukan karena musik erat kaitannya dengan rasa. Musik tertentu mampu membangkitkan rasa tersendiri bagi masing-masing orang. Ya, berdasarkan pengalaman pribadi, hanya sebatas inilah yang saya cerna tentang musik.

Namun, ternyata pengaruh musik bahkan bisa lebih dahsyat lagi. Hal ini baru saya sadari saat melakukan pre interview dengan seorang calon narasumber yang akan tampil di program talk show kami.


Ia adalah Idris Sardi, musisi kawakan dan sang maestro biola (yang sangat menolak disebut maestro). Idris bercerita, "Saat saya menggesekkan biola, penonton ada yang sampai menangis. Padahal saya cuma memainkan lagu 'Bunda', lagu pop biasa. Bahkan ada seorang wanita yang mengaku bisa klimaks saat mendengar saya bermain biola."

“Music and rhythm find their way into the secret places of the soul” - Plato

Wow, pikir saya dalam hati. Bagaimana bisa sedahsyat itu ya?

Belum sempat bertanya, saya sudah mendapat jawaban dari pria berusia 72 tahun ini. "Setiap mulai bermain, saya berdoa kepada Allah, ijinkanlah saya mensyiarkan ciptaanMu melalui musik untuk membahagiakan orang. Saya main untuk Dia." Idris menambahkan, “Biola itu kan cuma kayu dan kawat. Instrumen itu bukan sekedar dibunyikan tapi dinyawakan. Dan itu hubungannya ke Tuhan. Channelnya adalah rasa dan rasa yang punya adalah Dia.”

Kalau mendengar penjelasan Idris, tak heran musik efeknya bisa begitu dahsyat. Tapi tenang saja, tulisan ini tidak akan berubah menjadi khotbah yang sok religious. Intinya saat bermain bermain biola, Idris Sardi pasrah terhadap kekuatan besar yang membantunya. Ia menerjemahkan kekuatan besar tersebut dengan Tuhan. Orang lain mungkin menerjemahkannya dengan semesta. Itu hak masing-masing orang. Yang pasti kekuatan besar itulah yang membantu idris bermain dengan baik sehingga orang lain bisa menikmatinya.

"When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it" - Paulo Coelho

Dan ada lagi yang lain. Bagi Idris, disiplin dalam bermain musik adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Cerita tentang didikan sang ayah pun mengalir dari mulutnya. "Saya dibiasakan berlatih sejak subuh. Kata ayah, subuh adalah waktu yang paling baik karena malaikat masih banyak. Ayah juga menegaskan, kalau saya bermain salah atau tidak serius, itu sama saja saya menzolimi atau menyakiti orang lain." Tak jarang, sang ayah tega memukulnya bila ia salah. "Ayah saya bilang, 'sakit kan dipukul? Nah, seperti itu juga rasanya orang yang mendengar kamu bermain salah'."

Selama ini saya mungkin hanya sekedar pendengar musik yang setia, namun sekarang saya jadi mengerti proses di balik penciptaan sebuah karya musik. Kebetulan yang membagi kisah itu adalah seorang Idris Sardi, yang telah lebih dari setengah abad berkecimpung di dunia musik dan kepiawaiannya memainkan biola tak diragukan lagi.

Perbincangan dengan Mas Idris (ia menolak dipanggil Bapak) hari itu, punya arti tersendiri bagi saya. Dan makna itu tak terbatas soal musik. Supaya bisa dinikmati oleh orang lain, saat menciptakan karya apa pun ada tiga hal yang tak boleh luput. Yaitu menekuni dengan serius, mencurahkan segenap rasa, serta menyerahkan diri kepada kekuatan besar. Meski setiap orang tentu punya cara yang berbeda menerjemahkan hal-hal tersebut.

***

Jakarta, 4 Mei 2011
00.35 AM

Monday, March 28, 2011

Sindiran Si Oleh-Oleh

"Jangan lupa oleh-olehnya ya..."


Coba ingat, seberapa sering kalimat ini dilontarkan kepada Anda? Pasti jawabannnya tak terhitung. Saya pun demikian. Setiap kali hendak berangkat ke luar kota/ luar negeri (tak peduli untuk keperluan kerja atau liburan) oleh-oleh adalah pesan yang tak pernah luput dititipkan orang-orang sekitar yang tahu rencana kepergian saya.


Kisah tentang oleh-oleh akrab bagi saya dan teman-teman sesama pelajar Indonesia saat kuliah di Belanda. Ada seorang teman yang sangat rajin mengumpulkan oleh-oleh. Bahkan, saat ada obral barang merek terkenal atau setiap berlibur ke negara Eropa lain di luar Belanda, ia kerap mencicil oleh-oleh bagi orang-orang terdekat yang tak sabar menanti kepulangannya ke tanah air. Ia tidak seperti saya dan beberapa teman lain yang memilih untuk membeli oleh-oleh di saat-saat terakhir menjelang kepulangan ke Indonesia. Bukannya tak ikhlas mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli oleh-oleh tersebut, tapi saya masih malas direpotkan dengan urusan mencari barang-barang yang akan dijadikan oleh-oleh itu. Ditambah lagi, saya biasa jalan-jalan keliling Eropa alabackpacker, sehingga saya terkadang ragu menyisihkan ruang di tas ransel kecil saya sebagai tempat oleh-oleh.


Ya, begitulah. Bagi si pemberi, oleh-oleh terkadang bisa menjadi momok. Meskipun si pemberi sadar, oleh-oleh pasti akan hanya memunculkan satu perasaan bagi si penerima: senang.


***


Urusan oleh-oleh menjadi lebih bermakna bagi saya saat saya dan tim melakukan syuting untuk program kami di Kuala Lumpur, Malaysia, beberapa waktu lalu.


Di hari terakhir saat pekerjaan sudah selesai, kami pun sibuk berburu oleh-oleh. Ada seorang rekan kerja pria yang kewalahan mencari sepatu titipan sang istri. Pasalnya, tipe sepatu yang diinginkan sangat spesifik: merek tertentu, terbuat dari kulit, bermotif ular dengan tinggi hak sekian sentimeter. Ia sempat menemukan motif yang sesuai, tapi haknya masih terlalu pendek. Ia pun terpaksa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mencari sepasang sepatu idaman sang istri. Seorang rekan kerja pria yang lain sibuk memotret barang-barang yang ada dalam toko untuk dikirimkan melalui BBM."Teman-teman cewek di kantor banyak yang nitip tas atau dompet merek ini. Biar gampang, gw potret aja dulu biar mereka pilih," katanya.


Seorang rekan kerja lainnya, memilih oleh-oleh yang lebih praktis buat sang kekasih: coklat berbentuk kepingan hati dengan bungkus kotak bergambar bunga mawar berikat pita. Sementara saya hanya membeli dua kotak cokelat titipan mama tercinta dan satu kotak cokelat untuk dua orang sahabat yang kebetulan tahu kepergian saya ke Negeri Jiran. Saya tidak berusaha repot mencari oleh-oleh buat orang-orang terdekat lainnya.


Namun, yang terjadi selanjutnya, si oleh-oleh yang kadang saya acuhkan itu tiba-tiba "menyindir" saya.


Begini ceritanya. Dalam perjalanan pesawat pulang ke Jakarta, saya duduk bersebelahan dengan seorang rekan kerja, sebut saja namanya Adi. Ia bercerita bahwa ia telah bercerai dan kedua anaknya diasuh oleh mantan istrinya yang tinggal di lain kota. Kini, ia sulit menemui anak-anaknya karena dilarang oleh sang mantan istri. Ia berkata, "Jujur, gw suka sedih kalau tugas ke luar kota seperti sekarang ini. Gw iri sama teman-teman yang bisa beli oleh-oleh buat keluarganya. Sementara gw mau kasih ke siapa? Kalau gw beli untuk anak-anak pun gak tau kapan dan gimana bisa ngasihnya."


Saya tersentak mendengar pernyataan Adi. Ternyata, oleh-oleh yang terkadang menjadi beban yang ingin saya hindari, bagi Adi justru merupakan hak istimewa yang sangat didambakan namun sulit diraihnya.


Setelah sesaat terdiam, saya menjawab, "Gak apa-apa, Di. Yang penting loe udah ingat mereka. It's the thought that counts."


Menjadikan oleh-oleh sebagai beban atau hak istimewa serta rajin atau malas membeli oleh-oleh, adalah pilihan masing-masing orang. Tidak ada yang bisa memaksa. Namun, satu hal kembali saya sadari: oleh-oleh adalah bentuk perhatian yang diberikan kepada orang yang kita peduli, sayangi atau anggap penting. Dan percakapan saya dengan Adi seakan-akan menyindir saya yang akhir-akhir ini kurang memberi perhatian kepada orang-orang yang berarti dalam hidup saya.


Beberapa wajah lantas melintas di benak saya. Seorang sahabat kala SMA yang baru saja melahirkan anak keduanya (saya belum sempat menengok bayinya padahal saya sudah sempat berjanji). Seorang sahabat yang kamar kostnya sering saya inapi saat kuliah di Bandung dulu (sepertinya sudah hampir 5 tahun saya tidak bertemu dengannya). Sahabat-sahabat perempuan "gank" saya di kampus dulu (kami pernah janjian untuk bertemu tapi sulit mengatur waktu yang cocok). Seorang sahabat saat di Belanda yang kini tinggal di Malang (waktu sama-sama di Den Haag hampir tiap hari kami berkomunikasi lewat YM/Skype, kini SMS pun jarang). Bahkan terkadang saya pun lupa ulang tahun mereka (sementara dulu saya rajin mengucapkan selamat saat teman-teman dekat ultah). Ironisnya, saya bukannya tak tahu cara menghubungi mereka. Nomor telepon bahkan BBM mereka lengkap di contact lists saya.


Sehari setelah pulang dari Kuala Lumpur, saya pun menelusuri daftar teman yang ada di BBM. Saya klik sebuah nama. Salah satu dari sahabat yang saya sebut diatas. Saya mulai mengetik.


"Hai La, apa kabar? Udah lama banget gak ketemu..."


Tak berapa lama, sang sahabat mambalas, "Haiii Mirrr... Alhamdullilah baik. Iya nih kangen deh. Elo sibuk ngapain aja sekarang?"


Paling tidak saya bersyukur, masih bisa mengemban hak istimewa untuk mencurahkan perhatian kepada orang-orang tersayang.


***


"The greatest gift is a portion of thyself" -- Ralph Waldo Emerson

"The greatest gift you can give another is the purity of your attention" -- Richard Moss

"It isn't the size of the gift that matters, but the size of the heart that gives it" --Eileen Elias Freeman


Jakarta, 28 Maret 2011

02.30 AM