Thursday, October 9, 2014

Coat Hitam & Amanda Coady



Coba lihat foto diatas. Mungkin pertanyaan yang muncul: "Coat-nya sama ya? Pasti belinya bareng!" 

Bukan, bukan begitu ceritanya. Ini memang cuma satu coat, bukan dua coat yg sama.

Yuk, jalan-jalan ke Belanda, 4 tahun silam...

***
Den Haag, September 2010

"Kalau thesis gw dapat 7, coat ini buat elo deh," kata saya kepada Aini. 

Dan itulah awal coat merek H&M ini bisa berpindah tangan.

"Asiiik, taruhan, yakin gw, elo pasti dapet 7..." sambut Aini. Sementara saya cuma melengos karena rasanya tidak mungkin thesis saya diberi nilai 7 oleh dosen pembimbing saya, Amanda Coady, yang terkenal paling strict se-jurusan. Ditambah lagi buat kebanyakan student asal Indonesia seperti kami yang bukan english native speaker, mendapat nilai diatas 5,5 saja sudah syukur Alhamdullilah.

Ternyata saya kalah taruhan, karena nilai saya yang peroleh 7,2 tapi dikurangi 5% menjadi 6,8 karena melebihi batas jumlah kata. Ini nilai tertinggi yang pernah saya dapat selama kuliah di Belanda. Bangga, puas, senang, heran, tidak percaya semua campur aduk jadi satu.

Tapi ceritanya bukan cuma itu. Mari saya ajak berkilas balik lagi, singkat saja...

Amsterdam, February 2010

Coat hitam yang hangat ini cukup ampuh menghalau dinginnya malam saat saya melangkahkan kaki keluar dari kereta di Amsterdam Centraal Station.  

"Wow, kamu cantik sekali malam ini," begitu sapanya saat kami bertemu. Ya, ini memang kencan perdana saya sejak tiba di Belanda September 2009 lalu. Excited, pasti. 

Padahal, malam ini saya seharusnya sedang berjibaku menyelesaikan tugas mata kuliah dosen paling killer, Amanda Coady, yang deadline-nya besok. Tapi saya tidak peduli. Demi dia yang katanya sudah mengagumi saya sejak 4 tahun lalu. 

Ditemani bergelas-gelas wine, malam itu kami menghabiskan waktu di lantai dansa. 

Dan itulah awal dari kisah romansa satu musim saya di tanah Eropa...

***
Lalu, apa hubungan dengan coat yang jadi bahan taruhan tadi? Ada. Benar saja, karena lebih memilih berkencan daripada mengerjakan tugas dengan maksimal, saya harus resit(mengulang) tugas kuliah yang tadi saya ceritakan. Resit pertama (dan ternyata jadi satu-satunya) adalah di mata kuliah Amanda Coady. Nilai 4,6 yang saya peroleh saat itu ternyata juga jadi nilai terendah saya selama belajar di Negeri Kincir Angin.

Coat yang pernah turut andil memberikan saya nilai terendah, juga jadi bagian cerita (karena ia jadi bahan taruhan) saat saya akhirnya mendapat nilai tertinggi di Belanda. Dua-duanya dari dosen yang sama. Amanda Coady.

Tapi saat saya bahagia dapat nilai tertinggi, saya justru harus kehilangan coat hitam ini. Di saat yang sama, kisah romansa yang tadi saya ceritakan juga baru saja berakhir. 

Ironis, karena saat musim gugur perlahan beralih ke musim dingin, si coat hitam yang setia menghangatkan tubuh dan si dia yang kerap memberikan perasaan hangat, bersama-sama beranjak meninggalkan saya.

Ah, tapi tak mengapa. Karena 4 tahun berselang, saat saya mengenang dan menuangkan cerita tentang kehilangan itu menjadi tulisan ini, bukan perasaan dingin yang muncul, tapi rasa hangat itu justru kembali menjalar. Kisah tentang kehilangan, yang malah membuat bibir saya tersenyum dan bersyukur pernah mengalaminya...

***
Bali, 12 Mei 2014
11.26 PM

*Aini: ijin ya grab, edit dan post fotonya, makasih hehehe ijinnya belakangan. Oh ya makasih juga udah bawa si coat hitam bernostalgia ke tempat asalnya :)

Mind Over Matter

Mind Over Matter.


Pikiran lah yang sebenarnya menentukan, bukan keadaan.  

Walaupun saya selalu berusaha menerapkan ungkapan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, hari Minggu kemarin ada kejadian yang sedikit lebih berkesan bagi saya. Kali itu, saya dan adik perempuan saya, Amanda, serta dua orang temannya, Kevin dan Melinda, pergi ke Pantai Nyang Nyang di kawasan Uluwatu, Bali. Pantai Nyang Nyang adalah pantai berpasir putih yang cantik, bersih dan letaknya masih tersembunyi di bawah tebing sehingga belum banyak orang yang tahu. 



Akses menuju kesana pun tidak mudah. Kami harus menuruni sekitar 520 anak tangga yang agak licin dan penuh sampah. Yang berat tentu saja bukan saat turun menuju ke sana, tapi ketika naik untuk pulang. 

Kami tiba di tepi pantai sudah pukul 5 sore, sehingga tak bisa berlama-lama bersantai di pantai karena harus segera naik ke atas sebelum hari mulai gelap. Perjuangan pun dimulai. Baru seperempat perjalanan saya sudah mulai ngos-ngosan. Maklumlah, akhir-akhir ini karena jarak yang cukup jauh dari rumah, saya sudah jarang ikut yoga bikram yang dulu rutin saya lakukan. Saya pun melihat ke atas. 



Wah, perjalanan masih panjang. Setelah duduk sebentar, saya coba terus mendaki. Tapi tak lama, nafas kembali terengah-engah. Saya pun berisitirahat lagi. Amanda juga tampak kepayahan. Sementara Kevin dan Melinda masih terlihat segar dan pantang menyerah. Saya pikir, ya wajarlah, mereka kan masih berusia 19 tahun, jangan bandingkan dong dengan saya dan Amanda yang kepala 3 (walaupun wajah dan penampilan masih awet muda bak umur awal 20 tahunan hehe). 

Saya memandang ke atas, ujung tangga belum kelihatan, pertanda perjalanan masih sangat jauh. Melihat ke bawah, rasanya jaraknya masih dekat sehingga sepertinya kami memang belum melangkah jauh. Ingin memaksakan jalan, tapi malas karena bukan cuma nafas yang ngos-ngosan, tapi lutut pun terasa gemetar.

"Ayo Kak, pasti bisa. Tinggal dikit lagi sampai. Jangan dipikirin susahnya, pasti jadi gampang," kata Kevin. Saya jadi sedikit malu juga, karena kalah semangat dengan bocah 19 tahun itu (masa cuma penampilan saya yang awet muda, semangat juga harus awet muda dong hehe). Dan seketika saya jadi ingat ucapan guru yoga saya kalau murid-muridnya sedang kesulitan menyempurnakan suatu postur yang sulit. 

"Focus, concentrate. Stay in the room, be in the present. Don't think about the future and the past."

Saya lantas bangkit dan mencoba mendaki anak tangga satu persatu. Pandangan mata saya fokuskan hanya di satu anak tangga yang akan saya naiki. Bukan jauh ke depan. dan juga tidak sedikit-sedikit menoleh ke belakang. Pesan lain guru yoga saya juga terlintas di otak.


"Where you mind goes, your body will follow."  Kemana pikiranmu pergi, tubuhmu akan megikuti. Pikiran lah yang memberi perintah. Pikiran juga yang menentukan, susah atau mudah. Bukan keadaan.

Benar saja. Tak terasa saya sudah sampai di atas tebing. Yah tetap saja sih, kaki saya pegal-pegal dan jantung berdebar-debar. Tapi sungguh, sisa perjalanan itu tidak terasa sulit. Karena saya tidak berpikir bahwa itu susah, walaupun kenyataanya medan yang dilalui memang berat. 

Mind Over Matter.

Well, like Walt Disney once said, 


Because, it's all in your mind...

***

Bali, 11 Maret 2014 
00.10 AM

Hujan dan Kamu

Hujan memang bisa bikin orang mendadak jadi romantis. Kalau sudah romantis, saya jadi kangen Kamu.



Ya, Kamu...

Kamu, yang bikin saya mendadak suka senyum-senyum sendiri.
Kamu, yang kalau ada di dekat saya, bisa buat jantung saya berdetak berkali-kali lebih kencang.
Kamu, yang lari-lari di pikiran saya hampir 24 jam non-stop.

Kamu, yang menurut mata saya, pria paling tampan yang pernah saya lihat.
Kamu yang pintar.
Kamu yang lucu.
Kamu yang cool tapi hangat.
Kamu yang bisa baca pikiran saya.
Kamu yang, entah bagaimana bisa, selalu bilang hal yang tepat di saat yang pas.

Kamu yang bisa saya ajak diskusi serius soal topik-topik terhangat.
Tapi Kamu juga gaul dan seru kalau diajak "gila-gilaan".
Kamu yang tulus kalau sudah bicara soal perasaan.
Kamu yang gak jaim tapi bisa medadak jadi romantis.
Kamu yang menyenangkan!

Ah, Kamu...

Saya kangen sapaan kamu, singkat tapi mengena di hati.
Saya kangen talking sweet nothing sama Kamu.
Tapi saya juga kangen bicara yang berat-berat dengan Kamu.
Saya kangen dengar saran-saran Kamu yang selalu masuk akal dan membumi.
Saya kangen ketawa-ketawa sama Kamu.
Saya kangen menghabiskan bergelas-gelas wine sama Kamu.
Saya kangen menggila di lantai dansa sama Kamu.
Saya kangen nonton di bioskop sama Kamu.
I miss just being silly with You.
I miss being with You.

Saya kangen saling bertatap mata dengan Kamu.
Gak perlu kata-kata lagi.
Tatapan itu sendiri, sudah penuh makna.
Orang yang melihat kita bertukar pandang pasti langsung tahu,
kalau saya dan Kamu, sedang jatuh cinta. 

Saya kangen Kamu, yang melengkapi saya.

Kamu, fantasi yang akan segera jadi realita. Pasti.

Hei, Kamu!
Tahu lagu "All of Me"-nya John Legend?

Saya yakin, kalau Kamu sudah 100% jadi realita,
Kamu pasti akan nyanyiin lagu ini buat saya, di tengah romantisnya hujan!


"...What would I do without your smart mouth
Drawing me in, and you kicking me out
Got my head spinning, no kidding, I can't pin you down
What's going on in that beautiful mind
I'm on your magical mystery ride
And I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alright

My head's underwater
But I'm breathing fine
You're crazy and I'm out of my mind

Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you, oh

How many times do I have to tell you
Even when you're crying you're beautiful too
The world is beating you down, I'm around through every mood
You're my downfall, you're my muse
My worst distraction, my rhythm and blues
I can't stop singing, it's ringing in my head for you

My head's underwater
But I'm breathing fine
You're crazy and I'm out of my mind

Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you,oh
Give me all of you
Cards on the table, we're both showing hearts
Risking it all, though it's hard

Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
Cause I give you all of me
And you give me all of you
I give you all of me
And you give me all of you.."

***

Bali, 4 February 2014

00.50 AM

Thursday, January 30, 2014

Don't (Ever) Judge a Book by Its Cover - Part 2


Buat yang pernah baca note saya yang berjudul Don't (Ever) Judge a Book by Its Cover(lihat link ini: https://www.facebook.com/notes/mira-marissa-syam/dont-ever-judge-a-book-by-its-cover/736197026394219) pasti tahu cerita tentang Si Bapak berpenampilan ala petugas security yang ternyata pandai merias wajah.

Nah, hari ini, di acara pernikahan adik laki-laki saya, Si Bapak kembali beraksi. Jari-jari tangannya yang gempal dengan lincah memainkan alat-alat make up untuk memoles wajah kami. Kali ini bukan cuma saya yang dibuat (semakin) cantik olehnya, tapi juga adik perempuan saya. 

"Kok yang ngedandanin bapak-bapak, kan biasanya ibu-ibu...." 

Begitu celoteh salah seorang keponakan kecil dengan polosnya saat Si Bapak tengah merias saya, yang spontan disambut tawa oleh yang mendengarnya. Tapi Si Bapak seakan tak peduli jadi bahan olokan. Ia tetap serius mendadani wajah saya.

Kelihaian Si Bapak berpenampilan gahar ini dalam urusan rias merias wajah, ternyata masih terbukti. Nih hasilnya. Cantik kaaann.


Satu penyesalan saya, lagi-lagi saya luput mengabadikan penampakan Si Bapak. Entah kenapa. Padahal tadi saya banyak waktu untuk memotretnya. Saya yakin pasti note ini lebih sempurna kalau ada foto Si Bapak, supaya kalian dapat gambaran seperti apa wujud Si Bapak yang hits to the max ini. 

Hhhmm, atau mungkin saya belum diberi kesempatan memasang foto Si Bapak di notesekuel kedua ini, supaya nanti ada Don't (Ever) Judge a Book by Its Cover - Part 3. 

Sehingga saya senantiasa selalu diingatkan, untuk tidak menilai apa pun hanya dari kulitnya saja!

***
Jakarta, 4 Januari 2014
11.00 PM

Tahun Baru dan Kamu!


Berkat seorang sahabat, tahun baru 2014 kali ini, saya tak perlu repot-repot berkontemplasi membuat resolusi. 

"Pengen tahu, dapet yang bener..."
(baca: 'pengen lho')

Begitu kata sahabat saya, dua hari menjelang akhir tahun 2013, saat kami sedang berkendara bersama. Sontak saya menyahut sambil tertawa riuh, "Wuaaah, elo sampe ngomong begitu? 'Soundbite of the Day' ini, musti direkam! Bisa jadi paket satu setengah menit kayaknya nih. Gw akan buka dengan soundbite elo, baru beritanya.Pasti ratingnya tinggi." 

Buat yang masih asing dengan istilah-istilah dalam ucapan saya, biar saya jelaskan dulu.Soundbite artinya cuplikan wawancara, yang sering kita lihat saat menonton tayangan berita di televisi. 'Quote of the Day', kira-kira itu istilah lainnya 'Soundbite of the Day'. Sementara paket satu setengah menit maksudnya liputan berita berdurasi satu setengah menit. Lalu rating yang tinggi berarti banyak orang yang nonton tayangan itu.

Kenapa saya menganggap ucapan sang sahabat tergolong langka? Karena sahabat yang seusia saya itu adalah tipe perempuan independen yang jarang mengungkapkan keinginannya untuk serius berkomitmen dengan lawan jenis (baca:menikah). Pacaran dan jatuh cinta sih dia pasti pernah (dan sering), tapi untuk sampai ke tahap yang lebih lanjut ia sangat pilih-pilih dan hati-hati. Makanya ketika sahabat saya melontarkan kalimat tersebut, sambil duduk terhenyak di jok mobil dengan mata menerawang, spontan saya langsung menyambut dengan antusias, karena menganggap hal itu termasuk moment bersejarah.

Pembicaraan kami di sisa perjalanan itu berlanjut ke soal resolusi tahun baru. Dan kami sama-sama berkesimpulan punya resolusi yang sama untuk tahun 2014 ini. Cuma satu saja. Dan akan fokus dalam berusaha mewujudkannya. 

Thanks to her, tahun ini saya jadi tidak perlu repot-repot berpikir keras merumuskan resolusi tahun baru yang tepat. Dan bila biasanya saya punya banyak resolusi yang dibuat dalam bentuk daftar priotas, tahun ini saya yakin cuma punya satu. Dan pasti. 

Mau tahu apa?

"Saya cuma mau kamu!'

Ya, kamu. Kamu (yang) (benar)!

Happy New Year.

Sekian.

***
Jakarta, 2 January 2014
1.45 AM

Si Biru Punya Cerita


Yang akrab dengan saya, pasti tak akan anggap serius bila saya berkisah tentang Si Biru yang punya cerita. Soalnya, hampir semua barang yang saya punya berwarna biru, sehingga bisa jadi mereka berpikir tidak ada cerita yang istimewa tentang Si Biru, benda apapun itu yang saya maksud.

Tapi kalau Si Biru yang satu ini, saya jamin benar-benar punya cerita. 


Si Biru di kereta dari Belanda menuju Luxembourg, 2011

Sesuai warnanya benda ini saya sebut 'Si Biru'. Ya, dia adalah MP4 player, yang saya beli dari toko Media Markt awal tahun 2010, saat kuliah di kota Den Haag. Bagi saya saat itu, kegunaan utama Si Biru bukan buat mendengarkan musik, tapi untuk merekam wawancara terkait tugas-tugas kuliah hingga thesis.  Jadi, jika di thesis saya ada lembar ucapan terima kasih, Si Biru pasti ada di urutan pertama, karena ia benar-benar berjasa membuat saya bisa memakai toga untuk kedua kalinya.

Si Biru juga pernah merekam sepenggal kisah cinta satu musim saya di tanah Eropa. Ya, merekam secara harafiah, karena di dalam si biru ada cuplikan kemesraan kami di sebuah kota kecil di Belanda. Saya juga pernah berbagi Si Biru bersama dia, di sebuah taman di kota Paris, pada suatu hari yang cerah di musim semi. "I love the way you love me... strong and wild, slow and easy..," begitu lantun Si Biru kala itu. 'Dia' yang saat ini pastilah sudah tidak penting, tapi kisahnya masih melekat jelas di ingatan. Mungkin, karena dia adalah bagian dari kisah romansa dengan setting Eropa yang anggun, tentu tidak mudah untuk dilupakan begitu saja. Atau sederhana saja, mungkin karena diantara saya dan dia, ada Si Biru yang istimewa ini.

Tiba di negeri ini, Si Biru malah bukan cuma mencatat cerita saya tapi juga banyak kisah hidup orang-orang lain, dengan berbagai profesi, beragam usia. Pasalnya, Si Biru hampir selalu saya bawa saat melakukan pre interview dengan narasumber untuk program talk show 'Satu Jam Lebih Dekat', yang bercerita tentang perjalanan hidup seorang public figure. Si Biru pun jadi paham banyak hal, bahwa menjadi sukses itu tidak instan dan butuh perjuangan keras. Tak jarang Si Biru juga menampung air mata duka, bahagia, sampai berbagai petuah bijak sarat makna. Petuah bijak yang kadang pun membuat saya, si pewawancara, tersentak dan spontan merenung sejenak di tengah-tengah wawancara. Tak lain karena, setiap orang menyimpan kisah unik dan istimewa dan selalu ada pelajaran yang bisa dipetik darinya.

Malam ini, sendirian di kamar, saya mendengarkan kembali Si Biru. Cerita demi cerita pun dilantunkannya. Ada kisah tentang saya, hampir 4 tahun yang lalu di Negeri Kincir Angin, yang sedang berjuang meraih cita dan cinta. Lalu dirangkai dengan cerita tentang orang-orang lain dengan berbagai pengalaman mereka mengecap pahit manisnya hidup. Tak salah kalau dibilang pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena saat mendengarkan kicauan Si Biru, ada perasaan hangat yang perlahan-lahan menjalar. Perasaan hangat yang membuat saya sesaat lupa akan cuaca dingin pasca hujan di ruangan ini.

Dan, ini semua gara-gara Si Biru. Si Biru (yang) punya (banyak) cerita...

***
"My life is my message" - Mahatma Gandhi.

Bali, 27 Desember 2014
00.45 AM

Hey Geger, Put Yourself in Other's Shoes!


Siapakah Geger? 

Yang sudah cukup akrab dengan saya pasti paham siapa Geger. Tapi kalau belum tahu, biar saya perkenalkan. Geger adalah nama panggilan untuk mobil Hyundai Getz hitam yang selalu setia menemani saya mengarungi ganasnya jalanan ibukota selama hampir 10 tahun. Ya, saya memang cukup beruntung karena memiliki mobil pribadi yang mengantarkan saya beraktivitas sehari-hari. 

Saat sedang mengendarai si Geger menembus semerawutnya lalu lintas Jakarta, seringkali saya kesal pada motor-motor yang berseliweran seenaknya. Selain khawatir motor-motor itu meleceti si Geger, saya juga sebal karena gerombolan mereka kerap menghalangi Geger bergerak, apalagi saat macet. Saking kesalnya, saya sering sengaja balik menghalangi saat mereka berusaha mencari celah-celah untuk bergerak. Umpatan seperti "Ini motor sembarangan banget sih!" atau "Ini motor nyawanya banyak kali ya!" sudah biasa saya lontarkan bahkan saat hanya sendirian di dalam si Geger.

Tapi yang saya alami kemarin ceritanya agak berbeda.

Saya ada janji pukul 19.00 di daerah Jakarta Pusat, dan tidak boleh terlambat karena ini adalah urusan profesional bukan pribadi, Tapi pukul 18.00 saya dan Geger masih terjebak macet total di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Akhirnya saya ambil keputusan cepat. Saya parkir Geger di tempat yang aman dan naik ojek ke tempat tujuan.

Jaraknya masih cukup jauh dan jalan yang dilalui sama sekali belum bebas dari kepadatan. Tapi si Bapak Tukang Ojek cukup gesit namun hati-hati mengambil celah-celah untuk melaju. Tak jarang, ia menerima umpatan dari para pengemudi mobil yang tidak suka jalurnya diambil. Ada juga mobil-mobil yang sengaja menghalangi geraknya. Padahal ia cuma ingin membantu saya sampai di tujuan tepat waktu. Sama seperti harapan saya yang menumpanginya.

Di tengah-tengah perjuangan si Bapak Tukang Ojek menyelamatkan saya agar tidak terlambat itulah, saya jadi tahu apa yang dirasakan motor-motor yang sering saya maki bersama si Geger. 

Tidak, saya tetap tidak suka dengan motor-motor yang sembarangan mengambil jalur yang bisa membahayakan diri mereka dan orang lain juga, namun saya jadi paham bahwa sama seperti saya dan si Geger yang ingin beraktivitas dengan lancar, sebagian dari mereka juga punya kepentingan atau niat yang baik. Misalnya, seperti saya yang ada di boncengan si Bapak Tukang Ojek hari itu, tidak ingin terlambat karena khawatir dianggap tidak profesional, dan si Bapak Tukang Ojek pun punya niat baik, membantu saya supaya tidak terlambat. 

Di atas motor si Bapak Tukang Ojek, tiba-tiba saja saya berteriak dalam hati...

"Hey Geger, put yourself in other's shoes!"

And believe me, you'll have a whole new perspective!

***
Oh iya, berkat kelincahan si Bapak Tukang Ojek, saya sampai di tujuan 15 menit lebih awal dari waktu appointment:)

Jakarta, 14 November 2013
1.30 AM

Post Relationship Clean Up (a.k.a 'Bersih-Bersih' Setelah Putus)


Saat suatu hubungan (dalam konteks asmara: pacaran/pernikahan) berakhir, ternyata bukan serta merta selesai sampai disitu. 'Bersih-bersih' jadi fase yang, suka-tidak suka dan mau-tidak mau, harus dilewati. Saya pribadi menyebutnya dengan 'Post Relationship Clean Up'.
Yang utama, tentu saja membersihkan hati. Secara baik-baik atau tidak maupun kesepakatan bersama atau sepihak, yang namanya putus cinta pasti tidak enak. Proses selanjutnya, menata hati supaya bisa move on, begitu kata sebagian orang. Namun bagi saya ada yang lebih penting daripada cuma move on, yaitu ikhlas. Ikhlas adalah tahap yang lebih matang dari sekedar move on. Saat sudah ikhlas menerima semua yang terjadi, tak ada lagi pertanyaan, ganjalan dan perasaan dendam di hati. Yang ada justru mendoakan yang terbaik buat si mantan. Kalau sudah ikhlas, move on happens automatically.

Namanya manusia, ikhlas memang tidak gampang. Dan ternyata dalam proses menuju ke ikhlas, ada 'bersih-bersih' lain yang juga menuntut perhatian. Yaitu membersihkan kenangan-kenangan yang berwujud fisik. Misal: foto-foto, benda-benda milik atau pemberian sang mantan.

Sebagian orang spontan membuang semua kenangan yang berbentuk fisik itu. Bisa dengan cara dimusnahkan dahulu atau langsung saja dibuang ke tong sampah. Namun saya memilih mengumpulkan semua benda-benda tersebut dalam sebuah box, lalu menyimpannya di suatu tempat yang jarang tampak depan mata. Saya tidak menyingkirkan benda-benda itu bukan supaya bisa sering-sering KLBK, tapi karena saya orang yang menghargai sejarah. Apalagi bagian dari perjalanan hidup saya sendiri. Lagipula saya kok gak rela ya kalau wajah saya (= foto bersama sang mantan) masuk ke tong sampah.

Di era digital dan social media seperti sekarang, daftar Post Relationship Clean Upjadi makin bertambah.  Misalnya, foto-foto soft copy  dan  semua yang telah di-share disocial media, mulai dari foto, kata-kata mesra (sahut-sahutan di twitter atau commentfacebook/ path misalnya), tags (untuk foto, status, places check-ins, apa pun), dan sebagainya. Status hubungan seperti in a relationship, engaged atau married (kalau ditampilkan) pun perlu diperbaharui. Kalau putusnya tidak baik-baik, bahkan pertemanan disocial media juga dianggap perlu diakhiri.

Ah, tapi kan gampang aja, tinggal klik lalu delete. Eits, siapa bilang? Kelihatannya memang mudah, tapi saking banyaknya hal yang sudah kita share di social media, urusan 'bersih-bersih' yang satu ini menurut saya justru paling menyita tenaga dan waktu. 

Makanya, sejak putus dengan mantan pacar hampir 6 bulan lalu, 'bersih-bersih' yang ini belum juga saya lakukan. Pasalnya, hal ini rasanya belum jadi prioritas yang harus diutamakan, karena masih banyak urusan lain yang jauh lebih penting, misalnya pekerjaan kantor atau aktivitas bersama keluarga dan teman-teman. 

Apalagi saya merasa yang penting saya sudah mengikhlaskan semuanya. Kalau hati sudah ikhlas, urusan 'bersih-bersih' yang lain cuma sekedar tambahan belaka yang boleh dilakukan, boleh juga tidak. Bukan prioritas yang menempati urutan atas.

Sementara, di sisi sebelah sana, hanya beberapa hari setelah putus, sang mantan sudah meng-unshare dan mem-block saya dari dua akun social media yang berbeda. Beberapa waktu lalu, jumlah foto-foto saya di facebook pun berkurang. Ternyata si mantan sudah menghapus foto-foto saya yang ada di halaman facebooknya dan meng-untag foto-foto dirinya yang pernah saya tag. 

Kalau bersikap reaktif, saya pasti langsung melakukan hal yang sama dengan si mantan saat itu juga. Karena jujur saja, ada sedikit perasaan kesal saat sadar bahwa ada orang di sana yang menghapus 'jejak' hubungannya dengan saya (bisa berlaku untuk hubungan apa pun ya, gak harus pacaran, misal pertemanan). Tapi kok rasanya saya masih malas ya mengurusi printilan yang menurut saya tidak penting. Lagi-lagi, kan yang penting hati saya sudah ikhlas. Lalu otomatis saya sudah move on. Itu yang utama.

Tapi, hari ini satu persatu foto si mantan mulai saya hapus dari halaman facebook saya. Cuma yang di facebook, karena saya tak mau repot-repot 'bersih-bersih' timeline twitter dan path yang pasti akan sangat menyita waktu dan tenaga. Foto-foto soft copy si mantan di laptop juga sudah jadi satu di folder bertajuk 'Old Stuff'. Untungnya saya tidak pernah pasang status hubungan di facebook jadi gak perlu repot-repot ganti status hubungan dan bikin semua teman facebook dalam sekejab tahu perubahan dalam kehidupan pribadi saya (kan itu bukan urusan mereka).

Lho, kok saya tidak konsisten? Katanya tadi malas 'bersih-bersih' social media?

Alasannya sederhana saja. Kebetulan hari ini saya punya waktu. Saya sedang santai. Saking santainya sampai tidak tahu lagi apa yang musti dikerjakan.

Artinya? Inilah waktu yang tepat untuk mengurus remeh temeh tidak penting yang menempati urutan bagian bawah dalam hidup saya! Seperti 'bersih-bersih' social mediaurusan asmara ini....

---

*Moral story-nya, you figure it out yourself lah. Nah, kalau pesan pribadi dari saya:

Pertama, sebaiknya gak perlu lah terlalu banyak umbar-umbar kemesraan lewat social media. Sewajarnya aja. Iya kalau awet sampai nenek-kakek sehidup semati, nah kalau kandas di tengah jalan? Post Relationship Clean Up itu bikin repot dan nambah-nambah kerjaan gak penting. Saya baru aja ngalamin. No offense buat yang udah terbiasa share urusan asmara di social media ya, ini hanya menurut saya lho.

Kedua, ini pesannnya rada serius, beneran deh use your social media wisely. Selektif pilihcontent mana yang wajar dan perlu untuk di share dan mana yang gak. Kalau mau curhat, sama temen/keluarga atau sama Tuhan aja. Kalau mau iseng, di dunia nyata aja deh, biar gak kayak pengecut. Kalau mau mesra-mesraan, jalur pribadi aja sih lebih intim, lebih bebas, dunia beneran milik berdua.

*Dari saya yang sedang merasa social media bermanfaat tapi kadang suka mengganggu!*

Jakarta, 22 September 2013
11.30 PM

Don't (Ever) Judge a Book By Its Cover

'Drama' terjadi pagi tadi saat persiapan acara lamaran adik saya, make-up artist yang sengaja kita panggil ke rumah nyasar.

"Mbak, nanti saya make-up Mama, Mbak di make-up sama suami saya aja ya, biar cepet." Kata si Mbak begitu sampai di rumah saya (dia memang datang naik motor diantar sang suami).

"&$*%#" HAH? Saya pun melongo.

Bukan apa2, pasalnya penampilan sang suami lebih mirip security kompleks rumah (badan besar, berkumis) daripada juru rias. Tapi karena waktu sudah mepet, saya terpaksa merelakan wajah saya digarap oleh si Bapak dengan jari-jarinya yang gempal.

"Jangan tebal2 bedaknya Pak, yg soft aja ya." Berulang kali saya ingatkan dia karena khawatir hasilnya wajah saya kayak lenong. Apalagi saat di make-up posisi saya tidak langsung di depan cermin karena dikuasai Mama.


"Sudah Mbak, coba dicek dulu." Dag dig dug, saya menghampiri cermin.

 Voila! 


Ternyata hasilnya sama sekali tidak menor, bahkan soft dan sesuai harapan saya (kayak yang di foto ini loh, cakep kan, hehe). Bahkan menurut saya lebih rapi dari si Mbak yang ngerjain Mama.

So, pelajaran hari ini, diingetin lagi untuk "Don't Judge a Book by Its Cover".  Si Bapak boleh berpenampilan "gahar" tapi tangannya ternyata mampu memoles halus wajah saya hingga berpenampilan (makin) cantik sepanjang hari ini!

*** Sayangnya saya gak sempat foto si Bapak karena saking deg2an-nya waktu di make-up dan saking senangnya pas lihat hasilnya ternyata bagus :)

Jakarta, 6 Oktober 2013
6.20 PM

It's Not Always Rainbows & Butterflies...


Hasil pre interview beberapa hari yang lalu, dapat petuah bijak dari narasumber. Beliau adalah suami dari seorang penyanyi kondang era 70-80an. Usianya sekitar 70 tahunan, sudah 36 tahun mengarungi bahtera rumah tangga.

Kata Si Bapak:

"Pernikahan itu ibaratnya perjalanan di atas kapal untuk menyeberang ke berbagai pulau. Di kapal itu kan sudah ada aturannya, misalnya hanya mampu menampung berat 100 kg. Sementara suami dan istri masing-masing sudah membawa 100 kg. kalau dipaksakan naik, kapal akan tenggelam karena kelebihan beban. Nah, berarti masing-masing harus mengurangi 50 kg sehingga kapal tetap bisa berlayar. Ketika sudah sampai tujuan dan ingin pergi ke pulau berikutnya, kapal tetap hanya bisa menampung 100 kg. Sementara pasangan ini sudah punya anak, misal beratnya 20 kg. Artinya, supaya bisa naik kapal, masing-masing harus mengalah dan mengurangi 10 kg sehingga hanya membawa 40 kg per orang agar sang anak bisa ikut berlayar"

Baiklah, Pak, get the pointMarriage is about compromising dan bersama-sama menanggung beban.

Kalau kata si seksi Adam Levine - Maroon 5 dalam "She Will Be Loved"....

"Tidak selamanya (suatu hubungan) diwarnai pelangi dan butterfly feeling. Kompromi lah yang membuat kita terus berjalan."

Tapi kalau boleh saya teruskan Pak, jangan sampai ada salah satu pihak yang terlalu banyak mengurangi atau bahkan menghabiskan beratnya sementara pihak yang lain hanya sedikit atau malah tidak mengurangi beratnya. Kompromi juga tidak boleh kebablasan kan?

Ingat pesan Janis Joplin...

"Jangan berkompromi dengan dirimu sendiri. Hanya dirimu lah yang kamu punya."

Hhmm... Mungkin kalau digabungkan antara perkataan si Bapak, Adam Levine dan Janis Joplin, kompromi sah-sah saja bahkan perlu tapi jangan sampai membuat kita kehilangan jati diri. Because after all, you are all you've got.

Ah, tapi entahlah. Itu kan hanya menurut saya (yang belum pernah menikah) lho! :)

***
Jakarta, 28 Agustus 2013
02:20 AM