Thursday, February 17, 2011

Dan Si Muka Dingin Pun Menangis...



Perawakannya tinggi. Wajahnya dingin. Usianya 61 tahun. Namanya Alfred Riedl. Dialah pelatih timnas Indonesia saat ini. Di lapangan hijau, ia dikenal tegas, disiplin dan galak. Ia pelit senyum, bahkan ketika anak asuhnya berhasil mencetak gol. Namun siapa sangka, ia juga bisa menitikkan air mata di hadapan banyak orang.


Begini ceritanya. Saya dan tim berniat mengundang pria berkumis ini ke program talk showkami, yang bercerita tentang profil seorang tokoh dengan kemasan humanis. Ciri khas program ini adalah adanya mystery guest atau tamu rahasia yang dihadirkan tanpa sepengetahuan sang tokoh. Tujuannya tak lain untuk memberi kejutan yang bisa membuat sang narasumber menangis karena sedih dan terharu atau tertawa bahagia. Mulanya kami bingung saat mencari informasi tentang apa yang bisa menjadi kejutan bagi Riedl. Pasalnya, pelatih asal Austria ini baru 9 bulan tinggal di Jakarta. Selain kiprahnya berhasil membawa Tim Garuda ke final AFF 2010, belum banyak yang kami ketahui tentang kehidupan pribadinya.


Kami pun melakukan riset melalui internet. Riedl pernah melatih timnas Vietnam selama 6 tahun. Usut punya usut, tahun 2007 ia sempat melakukan transplantasi ginjal. Sebelumnya ada sekitar 70 pendukung timnas Vietnam yang ingin mendonorkan ginjalnya untuk Riedl. Namun hanya satu orang yang ginjalnya cocok dengan kondisi tubuh Riedl. Identitas si pendonor disembunyikan. Tak ada satu orang pun di Vietnam yang tahu namanya. Yang kerap disebut oleh media Vietnam hanyalah nama dokter timnas Vietnam yang setia mendampingi Riedl di masa-masa sulit itu. Semua informasi tersebut kami dapatkan setelahbrowsing ke Google Vietnam dan menerjemahkan artikel-artikel dalam bahasa Vietnam ke bahasa Inggris melalui Google Translate. Kami pikir, bisa jadi pengalaman inilah 'titik lemah' yang bisa memunculkan sisi humanis seorang Alfred Riedl.


Tapi, bukan jurnalis namanya bila tidak konfirmasi. Saat melakukan pre interview, kami tanyakan hal ini kepada Riedl. Ia banyak bercerita tentang transplantasi ginjal yang dijalaninya, namun identitas pendonor tak keluar dari mulutnya. Ia berkata, "After my kidney transplant, I realized there are more important things in life". Kami semakin yakin, inilah fase kehidupan yang sangat menyentuh hatinya.


Hanya berbekal nama dokter timnas Vietnam dan kontak dengan seseorang di KBRI Hanoi, reporter dan juru kamera tim kami berangkat ke ibukota Vietnam. Targetnya, membawa dokter dan si pendonor ke Jakarta untuk dijadikan mystery guests bagi Alfred Riedl. Berselang empat hari, upaya gigih mereka menuai hasil. Kedua calon mystery gueststersebut menyatakan bersedia terbang ke Jakarta.


Acara pun dimulai. Reaksi Riedl persis seperti yang kami harapkan. Ia kaget, senang campur terharu saat melihat sang dokter hadir. Ia langsung memeluknya. Tak lama, matanya berkaca-kaca lalu meneteskan air mata. "He was the mastermind of my kidney transplant. Without him, it would not have worked," katanya. Kejutan belum berakhir. Saat si pendonor muncul, Riedl kembali menitikkan air mata. Tangannya gemetar saat mencaritissue di balik jas untuk menghapus airmata. Kalimat pertamanya, "He saved my life".


Sekejab, kami yang menggawangi program di control panel langsung merinding. Alfred Riedl si muka dingin ternyata bisa menangis di hadapan sekitar 200 orang penonton saat itu.


Jujur, saya punya kepuasan tersendiri karena acara berjalan sesuai harapan dan kami bisa menyuguhkan tontonan yang menyentuh hati. Tapi di sisi lain saya juga merasa bersalah. Alasannya sama dengan yang diungkapkan seorang rekan kerja saya, "Aku senang semuanya sesuai harapan, tapi merasa bersalah membuat opa yang baik hati itu menangis." Memang setelah beberapa kali bertemu Riedl, saya tak lagi memandangnya sebagai seorang pelatih yang galak. Saya melihatnya tak lebih dari sosok seorang kakek (meskipun Riedl belum punya cucu dari kedua anaknya). Apalagi, ia mirip Almarhum kakek saya, yang juga bertubuh jangkung, berpendirian tegas dan terlihat galak. Meski sebenarnya Almarhum berhati lembut, gemar becanda dan sangat menyayangi istri dan keluarganya.


Ketika ditanya kenapa sosok setangguh dirinya bisa menangis, Riedl berkata, "It's emotion. You brought them here, they are very special for me". Jawaban yang sangat manusiawi. Saya jadi ingat perkataan Maya Angelou, seorang penyair AS, yang pernah saya kutip di note terdahulu: "I've learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel". Sang dokter begitu berarti bagi Riedl karena ia merasa sangat dibantu di masa-masa sulit mencari donor yang cocok. Si pendonor penting bagi Riedl karena ia merasa nyawanya diselamatkan oleh sang pendonor.


Ya, begitulah kekuatan sang perasaan. Riedl bisa menangis karena pengalaman yang dilaluinya bersama sang dokter dan si pendonor begitu menyentuh hatinya.


So, don't mess with human heart. It's fragile.


***


Jakarta, 17 February 2011

01.10 AM