Thursday, December 22, 2011

Bubur Ayam, Sandal Sepatul Biru & Arti Berbagi

Adakah hubungan antara bubur ayam, sepasang sandal sepatu biru dengan arti berbagi ? Ada. Dan bagi saya, ketiganya punya kisah yang saling berkaitan.


Begini ceritanya. Di suatu pagi yang cerah dalam perjalanan menuju ke kantor, saya dan Adji berhenti sejenak untuk sarapan. Pilihan kami jatuh ke Bubur Ayam Jalan Tanjung di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Bubur ayam ala kaki lima ini memang sudah jadi langganan saya sejak duduk di bangku SMP dan masih tinggal di rumah almarhum kakek di pinggiran Menteng. Suwiran ayamnya yang gurih dan sambal cabainya yang pedas, kerap membuat saya ketagihan.


Setelah memarkir mobil dengan rapi, kami lantas memesan dua mangkok bubur ayam. Sejurus kemudian, mata kami menangkap sosok seorang pemuda yang tengah duduk di pinggir trotoar. Usianya mungkin sekitar 30 tahun. Di sebelahnya tergeletak kotak yang terbuat dari kayu. Saya langsung tahu, ia adalah tukang semir sepatu yang biasa menawarkan jasa kepada pembeli bubur ayam. Tak salah ia memilih mangkal disini, karena sebagian besar penikmat bubur ayam ini adalah pekerja kantoran yang sengaja mampir untuk mengisi perut sebelum ke kantor. Bisa jadi, mereka lupa membersihkan atau menyemir sepatu sehingga bergunalah jasa si tukang semir.


Spontan Adji membuka jendela mobil dan menyapa si tukang semir. "Mas, saya pesanin bubur ya? Belum makan kan?". Si tukang semir menjawab, "Gak usah, Mas. Kalau mau saya bersihin aja sepatu Mas." Adji masih memaksa "Gak apa-apa, Mas, pesan aja..." Si Tukang semir tetap bersikukuh "Jangan, Mas. Saya sikatin aja sepatu Mas ya." Katanya sembari menghampiri mobil kami.


Sayangnya, hari itu Adji tidak sedang memakai sepatu rapi. Ia cuma menngenakan sandal gunung. "Kamu mau?" Tanya Adji kepada saya. Saya pun melirik ke arah kaki. Saya juga tidak sedang memakai sepatu tertutup. Telapak kaki sayang dilindungi sandal sepatu berwarna biru merek Crocs yang talinya terbuat dari sejenis kain. Dari luar sandal sepatu itu masih tampak bersih. Namun saya pikir tak ada salahnya juga bila dibersihkan. Saat melepaskan sandal barulah saya ingat di bagian dalamnya ada noda kotor yang belum berhasil saya hilangkan. Memang saya akui, saya kurang berusaha keras membersihkannya. Saya pikir yang penting sandal tersebut nyaman dipakai dan dari luar tampak bersih penampilannya.


Pesanan kami datang. Saat kami makan di mobil, si tukang semir duduk persis di trotoar samping mobil kami. Ia menyikat tiap sudut sandal saya dengan sabun lalu mengelapnya hingga bersih. Usai makan, Adji keluar dari mobil untuk merokok. Sayup-sayup saya mendengar Adji dan si tukang semir ngobrol tapi saya tak bisa menangkap isi pembicaraan mereka.


Selesailah sandal saya dibersihkan. Si tukang semir lantas memperlihatkan setiap sisi sandal sepatu biru itu. Saya lihat, noda di dalamnya telah raib. Sandal saya tampak seperti baru. Setelah membayar bubur, Adji memberikan upah kepada si tukang semir. "Terima kasih, Mas." Kata si tukang semir sambil tersenyum.


"Tadi dia cerita sama aku, kalau dia menolak dibeliin bubur karena pernah punya pengalaman buruk. Dulu dia pernah terima uang dari pembeli bubur tanpa menjual jasa. Dia lalu dimarahi satpam setempat dan dituding mengemis. Sejak itu, dia gak pernah lagi mau terima uang secara cuma-cuma. Dia bertekad harus bekerja untuk dapat uang." Cerita Adji saat kami melanjutkan perjalanan ke kantor.


Saya langsung tersentak. Si tukang semir begitu bersemangat melakukan pekerjaannya yang jelas lebih banyak mengerahkan tenaga fisik. Saya hampir yakin, saat tidak sedang mencari nafkah, ia pun kerap menggunakan fisiknya untuk menyelesaikan pekerjaan lain. Saya lalu membandingkan dengan diri sendiri. Saya sering mengeluh malas saat berangkat ke kantor. Padahal profesi yang saya jalani tidak menguras tenaga fisik seberat si tukang semir. Di rumah pun kadang saya malas beres-beres. Contohnya, saya tidak pernah berusaha keras untuk membersihkan noda di bagian dalam sandal sepatu saya ini. Padahal di tangan si tukang semir, tak sampai lima menit, noda tersebut bisa hilang. Saya jadi malu pada diri sendiri.


"Aku tadi sengaja manggil dia nawarin bubur, karena aku lihat dia elus-elus perut. Kasihan, dia tampak kelaparan..." Adji menambahkan.


Ah sungguh. Indahnya berbagi di pagi hari itu. Lebih nikmat dari semangkok bubur ayam panas yang telah mampu mengganjal perut saya sebelum bekerja di awal hari itu. Karena selain kepuasan batin dan pelajaran berharga yang didapat, sandal sepatu biru kesayangan yang nyaman mengiringi langkah saya berakivitas pun akhirnya kembali bersih bak sepatu baru.


***


"You only keep what you give away." -- R.E. Philips


“Our best thoughts come from others.” -- Ralph Waldo Emerson


Jakarta, 12 Desember 2011

02.35 AM