Usai menyaksikan final Piala AFF di sebuah cafe di kawasan Kebayoran Baru 29 Desember 2010 lalu, seorang teman wanita yang bisa meramal mencoba membaca telapak tangan saya. Saat memperhatikan tangan kanan saya, ia berkata, "Loe baru patah hati ya? Udah, ikhlasin aja deh semua yang udah terjadi. Jangan dendam. Loe akan dapat yang lebih baik kok, dalam waktu dekat sepertinya. Tapi dengan syarat loe harus ikhlasin dulu yang ini. Kalau loe belum ikhlas, susah, karena fokus loe akan ke yang ini terus." Sang teman juga menambahkan, "Lagipula, antara penasaran dan cinta beneran itu bedanya tipis lho. Mungkin aja loe belum bisa ikhlas hanya karena masih penasaran sama orang ini."
Saya memang suka diramal, tapi cuma untuk iseng-iseng saja. Saya juga tak mudah percaya pada suatu ramalan. Namun, apa yang dilontarkan teman saya di penghujung tahun lalu itu kebetulan sama dengan yang saya alami. Saya pernah dekat dekat dengan seorang pria. Hubungan kami berakhir tidak baik. Kami bahkan tidak lagi berteman. Tepatnya, ia yang memilih untuk memutuskan kontak apa pun dengan saya. Jujur saja, meski kini rasa sakit hati saya sudah berangsur-angsur hilang, namun terkadang saya belum sepenuhnya ikhlas. Saya tidak rela "dimusuhi", karena merasa telah mencurahkan segenap perasaan, tenaga dan waktu saya untuknya. Sepertinya, pengorbanan saya kok tidak sebanding dengan perlakuannya terhadap saya.
Dari berbagai referensi yang saya baca, ikhlas bisa berarti bersih hati, tulus, rela, atau tanpa pamrih. Berbicara soal ikhlas, ingatan saya juga kembali ke awal tahun 2010, saat masih kuliah di Belanda. Apartemen seorang teman yang juga sesama mahasiswi dari Indonesia dibobol maling. Ia kehilangan laptop, handy cam, dan perhiasan emas. Kerugiannya kalau tidak salah lebih dari 1000 euro atau sekitar 12 juta rupiah. Tentu saja, teman saya itu shock. Tapi hebatnya, kejadian itu tidak membuat ia berlarut-larut dalam kesedihan. Seingat saya, hanya dalam beberapa hari teman saya itu sudah ceria kembali. Ia berkata, "Diikhlasin aja lah. Harta kan cuma titipan di dunia ini." Sungguh, saya kagum dengan keikhlasan hatinya.
Bagi sebagian orang, mengikhlaskan kehilangan yang berhubungan dengan materi bisa jadi sedikit lebih mudah. Karena banyak orang yang berprinsip bahwa 'rezeki bisa dicari lagi', 'kalau masih rezeki akan kembali lagi', atau 'Insya Allah akan dapat yang lebih bagus'. Tapi bagaimana dengan mengikhlaskan hal lainnya, seperti kehilangan kesempatan berharga atau orang yang kita sayangi? Atau mengikhlaskan perasaan yang sudah kita limpahkan tanpa mengharapkan balasan yang sama. Contohnya seperti pengalaman saya diatas. Bagi saya, ini tampak lebih sulit.
Di tengah-tengah upaya saya untuk bisa lebih ikhlas, percakapan dengan seorang rekan kerja di suatu pagi 7 Januari 2011 lalu menyentak saya. Sehari sebelumnya, rekan kerja saya itu kehilangan Blackberry miliknya yang tertinggal di mobil travel. Di hari yang sama, saya dan tim mengurus siaran langsung dari Bandung. Namun, kejadian itu tidak menganggu kinerja rekan kerja saya itu. Ia tetap bisa mngurus siaran dengan baik. Esok harinya, saat makan pagi bersama di hotel saya bertanya, "BB loe ketemu?". "Gak." Jawabnya. "Waduuh terus gimana dong?" Kata saya. Saya tahu rekan kerja saya itu tak bisa lepas dari BB-nya. Saya sendiri pun tak bisa membayangkan bila BB saya hilang. Benda itu sangat penting buat saya. Namun, rekan kerja saya hanya menjawab dengan santai, "Ya ikhlasin aja lah, Mbak. Cowok aja hilang bisa dapat yang lebih baik, masa cuma BB doang gak bisa dapat yang lebih bagus?"
Jawaban itu memang sederhana, tapi keikhlasan ditambah optimisme rekan kerja yang usianya lebih muda dari saya itu sekejab menyadarkan saya bahwa semua kesusahan yang saya alami terkait dengan pengalaman saya diatas adalah bagian dari proses untuk mendapatkan yang terbaik. Saya jadi sedikit malu, ternyata usia lebih matang bukan berarti lebih bijak.
Saya yang tadinya belum punya resolusi yang signifikan untuk tahun 2011 pun menemukan satu resolusi yang pasti: saya ingin belajar ilmu ikhlas! Saya sadar bila sudah ikhlas maka ganjalan di dalam hati akan hilang dan saya sejatinya akan lebih lapang melangkah. Saya akan memulai dengan mengikhlaskan semua yang sudah saya lalui dengan teman pria yang saya ceritakan di atas. Saya berharap ramalan teman saya akan terwujud, yaitu saya akan segera mendapatkan yang lebih baik. Boleh dong kali ini saya percaya ramalan? Toh ramalan itu turut andil memotivasi saya untuk terus belajar ikhlas! :)
***
"There are things that we never want to let go of, people we never want to leave behind. But keep in mind that letting go isn’t the end of the world, it’s the beginning of a new life.”-- Anonymous
"People come into your life for a reason, a season, or a lifetime. When you figure out which one it is, you will know what to do for each person."-- Jean Dominique Martin
Jakarta, 9 Januari 2011
02.22 AM
No comments:
Post a Comment