Monday, January 31, 2011

A Story About A Boy and A Girl


This is a story about a boy and a girl...

Who once lived 62 kilometers apart
However, the distance did not prevent them from meeting each other
Of course, they had a crush on one another
And eventually, they fell in love.

This is a story about a boy and a girl...

Who then lived 12.000 kilometers apart
They were separated by the oceans
However, this condition did not keep them from talking to each other
They found ways to communicate every single day
No wonder, they were more deeply in love.

This is a story about a boy and a girl...

Who now live only 2 kilometers apart
They can easily walk to each other place
However, they never contact one another anymore
Maybe, just maybe, they are still in love
But something get in their way
Words get in the way.

So, this is a story about a boy and a girl...
And how ironic life can sometimes be...

***

Jakarta, 31 January 2011
11.00 PM





Friday, January 28, 2011

Kisah Si Sepeda Biru Tua


Kisah Si Sepeda Biru Tua di Belanda...

Tinggal di Belanda, rasanya kurang sah bila tak punya sepeda. Pasalnya, bagi penduduk Negeri Kincir Angin ini, sepeda terbilang alat transportasi utama. Saya yang tiba di kota Den Haag bulan September 2009 silam, pun tak mau ketinggalan punya sepeda. Apalagi saya tahu akan tinggal di Belanda paling sedikit selama satu tahun untuk menyelesaikan kuliah Master International Communication Management (MICM) di The Hague University. Karena tak mampu beli sepeda baru (yang harganya bisa sampai ratusan euro), saya pun membeli sepeda bekas dari Asty Rastiya, alumni MICM 2008 yang juga mantan rekan kerja saya.

Sepeda itu saya beli seharga 37 euro atau sekitar Rp. 450.000. Warnanya biru tua. Meski umurnya tampak uzur, kondisi sepeda tersebut masih baik dan kokoh. Sejak perkuliahan dimulai, ia pun kerap mengantarkan saya bolak balik dari apartemen ke kampus yang jaraknya hanya sekitar 2,5 kilometer.

"Kalau rantainya mulai bunyi atau terasa berat saat dikayuh, rajin-rajin diolesi minyak. Gak perlu pakai minyak sepeda, minyak sayur aja biar murah meriah." saran Asty. Tapi karena dasarnya memang kurang telaten, saya seringkali lupa meminyaki rantai si sepeda biru tua. Sampai akhirnya, ia tak berhenti mengeluarkan bunyi dan sangat terasa berat saat dikayuh. Seperti tidak ada 'tarikan' sama sekali.

Aris Kurniawan, teman MICM 2009, menawarkan jasa untuk melihat kondisi si sepeda biru tua. Saya membawanya ke apartemen Aris di Stamkartplein, yang letaknya bersebelahan dengan kampus. Setelah meneliti, Aris berkata "Ah ini mah cuma kurang minyak aja. Rantainya kering dan banyak kotoran menggumpal. Bersihin aja pake sikat dan bensin, beres kok." Saya pun mengiyakan saja, walaupun dalam hati saya bingung, di Belanda bagaimana caranya bisa beli bensin ketengan ya? Akhirnya, karena masih malas repot, si sepeda biru tua saya inapkan di parkiran Stamkartplein. Saya pikir toh dekat dengan kampus, jadi saya bisa menengoknya kapan saya. Saya ingat, saat itu akhir Desember 2009, musim gugur sudah resmi beralih ke musim dingin.

Hari dan bulan pun berganti. Tapi saya belum juga sempat memperhatikan si sepeda biru tua. Saya terlalu sibuk mengejar deadline demi deadline tugas-tugas kuliah. Bila tidak sedang berkutat dengan pelajaran, saya pun sibuk "pacaran" (dalam tanda kutip karena di masa ini saya dekat dengan seorang pria dan kami sering jalan bareng, tapi tidak resmi berpacaran). Jalanan yang licin dan cuaca dingin saat winter pun membuat saya semakin melupakan si sepeda biru tua karena merasa tak membutuhkannya. Saya lebih nyaman naik tram yang hangat. Alhasil, ia saya biarkan teronggok di parkiran dekat kampus tanpa terlindungi dari hujan salju. Bila ia bisa merasa, pasti si sepeda biru tua sudah menggigil hingga beku kedinginan.

Saya baru teringat lagi akan si sepeda biru tua saat chatting dengan Endra Noviandy, seorang teman ISS. Ia berkata bahwa temannya, Shintong Febby, jago memperbaiki sepeda. Kami bertiga pun sepakat bertemu untuk memperbaiki si sepeda biru tua. Namun, hujan di hari perjanjian tersebut membuat saya malas keluar rumah. Si sepeda biru tua pun gagal 'disembuhkan'.

Ironisnya, tepat keesokan harinya, si sepeda biru tua raib dari tempat parkirnya. Saya menduga, ia disita oleh sejenis satpol PP-nya Den Haag. Beberapa hari sebelumnya, saya memang sempat melihat selebaran kertas peringatan dari pemda setempat yang (menurut teman yang mengerti bahasa Belanda) artinya sepeda akan segera disita karena telah terlalu lama dibiarkan di parkiran sehingga dianggap tak bertuan. Tapi entah mengapa, saya tak menghiraukan peringatan tersebut. Saat itu bulan April 2010, musim semi baru menjelang. Saat tulip-tulip mulai bermekaran inilah si sepeda biru tua resmi meninggalkan saya untuk selamanya.


Kisah Si Sepeda Biru Tua di Jakarta...

Sembilan bulan telah berselang sejak kepergian si sepeda biru tua. Kini, saya sudah berada di tengah hiruk pikuk kota Jakarta dan kembali bergumul dengan kesibukan kantor.

Jumat, 21 Januari 2011 lalu, saya menyempatkan diri hadir di acara Holland Alumni Meet & Greet. Disana saya bertemu dengan Ricky Andriansyah, alumni UVA 2009, dan Afgi Ahmad, alumni MICM 2007. Saat melihat foto sepeda di layar proyektor, kami pun asyik berbagi pengalaman.

"Gw gak sempat punya sepeda lho dulu di Amsterdam, malas...." Kata Ricky

"Gw sempat tapi cuma sebentar aja. Lucunya sepeda gw diciduk satpol PP gitu karena kelamaan ditelantarin di parkiran. Dia rusak terus gw gak sempat-sempat benarin..." Saya menimpali RIcky.

"Wah, kalau gw malah sering pakai sepeda. Tahu gak, dulu gw dapat sepeda itu dari Putri, teman MICM 2007. Jadi sepeda itu ditinggalin begitu aja sama housemate-nya Putri yang orang Bulgaria saat dia pulang ke negaranya. Nah si orang Bulgaria ini biasa jadi penadah sepeda curian, salah satunya ya sepeda gw itu. Terus sepeda itu gw jual ke Asty, MICM 2008...." Cerita Afgi.

Saya mendadak tersentak "Lah, sepeda gw kan gw beli dari Asty... Jadi, Asty beli dari elo? Dan ternyata itu barang curian? Ya ampuun.. Pantas aja akhirnya dia diciduk satpol PP....Gak heran..."

Serentak, kami berdua pun tertawa riuh. Afgi mungkin tak menyangka bisa mengetahui perjalanan sepedanya yang berakhir tragis, dan saya tak pernah mengira bahwa si sepeda biru tua ternyata adalah barang curian.

Bagi saya pribadi, kejadian ini punya tiga makna. Pertama, pepatah 'kalau masih milik pasti kembali' bisa jadi berlaku sebaliknya, yaitu 'kalau bukan milik pasti akan hilang juga'. Meski si sepeda biru tua telah berkali-kali pindah tangan, ia tidak akan pernah selamanya menjadi milik orang yang bukan pemilik aslinya (dalam hal ini si korban pencurian). Kedua, meski berstatus curian, jasa si sepeda biru tua tidak boleh dipandang sebelah mata, karena ia telah setia menemani tiga generasi mahasiswa MICM asal Indonesia yang sedang berjuang menimba ilmu di Belanda. Ketiga, saya jadi lebih menghargai setiap barang yang saya punya. Saat memilikinya, saya memang merasa si sepeda biru tua kurang menarik dan berharga. Siapa sangka, ia ternyata menyimpan kisah yang begitu unik.

Saya tidak tahu bagaimana kabar si sepeda biru tua saat ini, karena saya tidak paham cara pemda Den Haag menangani sepeda sitaan. Bisa jadi ia sudah dipreteli. Namun, bila ia masih utuh, hanya satu harapan saya: semoga ia berada di tangan orang yang rajin merawatnya dan memberinya tempat berteduh dari terpaan hujan dan badai salju. Tidak seperti saya, yang tega menelantarkannya hingga 4 bulan pada musim dingin tahun lalu.


***

Jakarta, 26 Januari 2011

01.30 AM


Sunday, January 23, 2011

Be Careful What You Wish For!

Cheers to Europe!
(Captured by Amatul)

One lovely evening in late February 2009, three best friends went out to a fine wine lounge located in the center of Jakarta. They ordered a bottle of Moet & Chandon Champagne.


After it was chilled, the waiter poured the champagne into three glasses. Then, the three girls lifted their glasses and made a toast. They said, "Cheers to Europe!". Yes, they had a dream that one day they could live in Europe and even conquer that continent by setting their foot on as many European cities as possible.



Surprisingly, as days went by, each girl got what she wished for :)


The first girl left Jakarta for Europe in September 2009. She was granted a scholarship to pursue her master degree. She stayed in The Hague, the Netherlands, for a year until October 2010. During her stay, she had visited many cities in different European countries.


The next girl went for a holiday in Europe during November - December 2009. This was not her first time though. She had been to Europe many times before but she could never get enough of it. She wanted to visit more and more places around the continent. However, Paris has always been her favorite city.



The last girl is just about to begin her journey at the end of January 2011. She received a fellowship to join a three-month short course in Hilversum, the Netherlands. Of course, she is planning to go to other Schengen countries as well during her stay. For example, celebrating Valentine's Day at the top of the Eiffel Tower.


So, be careful what you wish for, as it might come true! But most importantly, don't ever give up on your dream and always find ways to fulfill them. Because even the simplest thing such as casting a spell on three glasses of Moet & Chandon Champagne, could actually make your dream come true :)


***


Jakarta, January 15th 2010

02.24 AM

Sunday, January 9, 2011

Resolusi 2011: Belajar Ilmu Ikhlas!

Usai menyaksikan final Piala AFF di sebuah cafe di kawasan Kebayoran Baru 29 Desember 2010 lalu, seorang teman wanita yang bisa meramal mencoba membaca telapak tangan saya. Saat memperhatikan tangan kanan saya, ia berkata, "Loe baru patah hati ya? Udah, ikhlasin aja deh semua yang udah terjadi. Jangan dendam. Loe akan dapat yang lebih baik kok, dalam waktu dekat sepertinya. Tapi dengan syarat loe harus ikhlasin dulu yang ini. Kalau loe belum ikhlas, susah, karena fokus loe akan ke yang ini terus." Sang teman juga menambahkan, "Lagipula, antara penasaran dan cinta beneran itu bedanya tipis lho. Mungkin aja loe belum bisa ikhlas hanya karena masih penasaran sama orang ini."


Saya memang suka diramal, tapi cuma untuk iseng-iseng saja. Saya juga tak mudah percaya pada suatu ramalan. Namun, apa yang dilontarkan teman saya di penghujung tahun lalu itu kebetulan sama dengan yang saya alami. Saya pernah dekat dekat dengan seorang pria. Hubungan kami berakhir tidak baik. Kami bahkan tidak lagi berteman. Tepatnya, ia yang memilih untuk memutuskan kontak apa pun dengan saya. Jujur saja, meski kini rasa sakit hati saya sudah berangsur-angsur hilang, namun terkadang saya belum sepenuhnya ikhlas. Saya tidak rela "dimusuhi", karena merasa telah mencurahkan segenap perasaan, tenaga dan waktu saya untuknya. Sepertinya, pengorbanan saya kok tidak sebanding dengan perlakuannya terhadap saya.


Dari berbagai referensi yang saya baca, ikhlas bisa berarti bersih hati, tulus, rela, atau tanpa pamrih. Berbicara soal ikhlas, ingatan saya juga kembali ke awal tahun 2010, saat masih kuliah di Belanda. Apartemen seorang teman yang juga sesama mahasiswi dari Indonesia dibobol maling. Ia kehilangan laptop, handy cam, dan perhiasan emas. Kerugiannya kalau tidak salah lebih dari 1000 euro atau sekitar 12 juta rupiah. Tentu saja, teman saya itu shock. Tapi hebatnya, kejadian itu tidak membuat ia berlarut-larut dalam kesedihan. Seingat saya, hanya dalam beberapa hari teman saya itu sudah ceria kembali. Ia berkata, "Diikhlasin aja lah. Harta kan cuma titipan di dunia ini." Sungguh, saya kagum dengan keikhlasan hatinya.


Bagi sebagian orang, mengikhlaskan kehilangan yang berhubungan dengan materi bisa jadi sedikit lebih mudah. Karena banyak orang yang berprinsip bahwa 'rezeki bisa dicari lagi', 'kalau masih rezeki akan kembali lagi', atau 'Insya Allah akan dapat yang lebih bagus'. Tapi bagaimana dengan mengikhlaskan hal lainnya, seperti kehilangan kesempatan berharga atau orang yang kita sayangi? Atau mengikhlaskan perasaan yang sudah kita limpahkan tanpa mengharapkan balasan yang sama. Contohnya seperti pengalaman saya diatas. Bagi saya, ini tampak lebih sulit.


Di tengah-tengah upaya saya untuk bisa lebih ikhlas, percakapan dengan seorang rekan kerja di suatu pagi 7 Januari 2011 lalu menyentak saya. Sehari sebelumnya, rekan kerja saya itu kehilangan Blackberry miliknya yang tertinggal di mobil travel. Di hari yang sama, saya dan tim mengurus siaran langsung dari Bandung. Namun, kejadian itu tidak menganggu kinerja rekan kerja saya itu. Ia tetap bisa mngurus siaran dengan baik. Esok harinya, saat makan pagi bersama di hotel saya bertanya, "BB loe ketemu?". "Gak." Jawabnya. "Waduuh terus gimana dong?" Kata saya. Saya tahu rekan kerja saya itu tak bisa lepas dari BB-nya. Saya sendiri pun tak bisa membayangkan bila BB saya hilang. Benda itu sangat penting buat saya. Namun, rekan kerja saya hanya menjawab dengan santai, "Ya ikhlasin aja lah, Mbak. Cowok aja hilang bisa dapat yang lebih baik, masa cuma BB doang gak bisa dapat yang lebih bagus?"


Jawaban itu memang sederhana, tapi keikhlasan ditambah optimisme rekan kerja yang usianya lebih muda dari saya itu sekejab menyadarkan saya bahwa semua kesusahan yang saya alami terkait dengan pengalaman saya diatas adalah bagian dari proses untuk mendapatkan yang terbaik. Saya jadi sedikit malu, ternyata usia lebih matang bukan berarti lebih bijak.


Saya yang tadinya belum punya resolusi yang signifikan untuk tahun 2011 pun menemukan satu resolusi yang pasti: saya ingin belajar ilmu ikhlas! Saya sadar bila sudah ikhlas maka ganjalan di dalam hati akan hilang dan saya sejatinya akan lebih lapang melangkah. Saya akan memulai dengan mengikhlaskan semua yang sudah saya lalui dengan teman pria yang saya ceritakan di atas. Saya berharap ramalan teman saya akan terwujud, yaitu saya akan segera mendapatkan yang lebih baik. Boleh dong kali ini saya percaya ramalan? Toh ramalan itu turut andil memotivasi saya untuk terus belajar ikhlas! :)


***


"There are things that we never want to let go of, people we never want to leave behind. But keep in mind that letting go isn’t the end of the world, it’s the beginning of a new life.”-- Anonymous


"People come into your life for a reason, a season, or a lifetime. When you figure out which one it is, you will know what to do for each person."-- Jean Dominique Martin


Jakarta, 9 Januari 2011

02.22 AM