Wednesday, December 6, 2006

Partner In Crime

Belum setahun bergabung dengan Trans TV, sekitar bulan Februari 2003 saya ditempatkan di program baru bertajuk “Kriminal”. Sesuai dengan namanya, isi liputannya seputar dunia hitam para penjahat. Supaya bisa bersaing dengan program sejenis yang sudah menjamur di berbagai TV lain, tentu selain beritanya harus aktual, gambarnya juga wajib eye catching. Karena itu, sasaran utamanya adalah berita kriminal yang diliput langsung di lokasi kejadian, bukan sekedar di kantor polisi.

Tapi, jangan kira mudah mendapat berita seperti itu. Selain tim yang cuma lima orang (dua reporter & tiga cameraperson), saat itu redaksi juga belum punya jaringan yang luas dengan para polisi yang bisa memberi akses untuk meliput. Jadilah kami yang diminta ber-PDKT dengan mereka. Saya dan cameraperson harus rela nongkrong dari satu polsek atau polres ke polsek atau polres lain di seluruh Jakarta, meskipun tidak sedang mencari berita. Tujuannya satu, supaya diajak ikut penggerebekan oleh para buser sehingga kita bisa dapat gambar bagus. Tapi, ternyata gak gampang untuk membuat mereka percaya sama kita. Apalagi saat itu kami tidak dibekali dengan beragam souvenir dari kantor yang bisa dijadikan alat ‘sogokan’. Akhirnya saya cuma mengandalkan kemampuan
speak-speak saya. Tapi gak sia-sia kok. Jadi ingat betapa senangnya ketika di tengah malam saya mendapat telepon untuk diajak ikut penggerebekan. Walaupun saya harus merelakan terbangun di malam hari saat libur (kan mereka gak tau jadwal libur saya) dan menghabiskan pulsa telpon untuk memberi tahu tim jamal untuk follow up.

Dari “Kriminal” saya pindah ke “Interogasi”. Sama-sama masih seputar dunia hitam. Tapi kali ini obyeknya adalah mantan preman alias preman yang telah insyaf. Gambarnya akan bagus kalau sang mantan preman punya banyak tato, bekas luka, atau senjata. Makanya, saat riset saya gak sekedar mencari tahu kejahatan yang pernah dilakukan sang narasumber dan apa yang membuat dia insyaf, tapi juga lukanya ada dimana saja, dan sisa-sisa ‘kebuasannya’ yang lain. Gak jarang, telepon dari pemirsa yang protes datang ke redaksi. Kata mereka, program ini mengajarkan orang untuk berbuat jahat. Padahal para mantan preman itu baik-baik loh. Buktinya seorang preman asal Banten rela menyediakan cottage dan makan gratis saat tim introgasi bikin perpisahan :)

Lepas dari “Interogasi”, saya gabung dengan tim “Lacak”. Masih di dunia yang berdarah-darah. Bahkan tantangannya lebih besar, karena liputannya adalah tentang kasus pembunuhan yang belum terungkap. Cukup mengerikan karena pelakunya masih berkeliaran di luar sana. Cukup sulit karena pasti tak mudah untuk membujuk keluarga korban membuka luka lama plus merayu polisi mengingat pekerjaaan rumah mereka yang belum tuntas. Liputan pertama saya tentang pembunuhan sepasang suami istri di Bangil, Jawa Timur. Tenyata meski telah berselang enam bulan dari waktu pembunuhan, TKP nya belum berubah. Di kamar mandi, bercak darah di lantai dan dinding masih terlihat jelas. Jangkung, partner in crime saya saat itu, bahkan minta ditemani saat ambil gambar di kamar mandi. Padahal biasanya Jangkung yang bertubuh tinggi besar, gak pernah takut apa pun. Sang istri yang bernama Nanung ternyata juga punya buku harian. Di setiap lembar buku tebal itu ia selalu menuliskan Nanung love Didik (nama sang suami) Forever. Dan mereka benar-benar sehidup semati. Hii, saya jadi merinding mengingat itu :(

Yang pasti, dari program “Lacak”, saya banyak belajar tentang seluk beluk kejahatan. Apalagi saya juga harus mereka ulang kronologis pembunuhan. Jadilah saya mencoba berpikiran bak seorang pembunuh. Iih ngeri. Tapi dengan begitu saya jadi sedikit belajar bagaimana cara menghindari kejahatan. Misalnya, pernah beberapa liputan yang dikerjakan tim “Lacak”, semua korbannya adalah perempuan hamil yang dibunuh pacarnya sendiri. Kami pun sempat berkesimpulan, kalau dihamili sama pacar jangan minta dikawinin, nanti malah dibunuh!

Lepas dari “Lacak” Saya punya tanggung jawab baru sebagai Asisten Produser di Program “Jelang Siang”. Tadinya saya pikir, bisa bebas dari dunia kriminal. Ternyata belum. “Jelang Siang” juga punya liputan Dramatic Story, yaitu kriminal yang korbannya anak-anak dan wanita. Seringnya kasus perkosaan dan pencabulan. Jadi, saya belum berpisah dengan sahabat-sahabat polisi dan penjahat.

Hampir tiga tahun saya berkecimpung di dunia yang berdarah-darah itu. Setelah itu, baru dipindahkan ke korda yang, kalaupun masih bersentuhan dengan dunia hitam, hanya sekedar mendengar laporan dari teman-teman di daerah. Ada yang bilang liputan kriminal itu mudah karena 5W + 1H-nya gampang didapat. Ada yang bilang liputan kriminal gak keren, kurang bergengsi, liputan ece-ece. Ada juga yang berpendapat, liputan kriminal gak ada manfaatnya.

Tapi tidak bagi saya. Dari liputan kriminal saya jadi kenal banyak polisi se-jabodetabek dan se-antero nusantara (Manfaatnya: dimana pun berada, saya bisa merasa aman, karena kalau ada apa-apa saya bisa langsung telepon mereka untuk minta bantuan). Saya juga jadi tahu cara para penjahat beroperasi (Gunanya: paling tidak saya bisa memikirkan cara untuk mengantisipasinya kan?). Saya juga kenal sejumlah preman di berbagai daerah (Untungnya: kalau datang ke suatu wilayah, saya gak perlu takut, karena kalau ada apa-apa, tinggal minta bantuan sang penguasa wilayah).

Tapii… yang paling penting adalah, dari liputan kriminal saya juga bisa dapat pacar! Bukan cinlok karena sang pacar bukan cameraman yang pernah liputan bareng saya. Tapi narasumber saya! Jadi pacar saya penjahat, preman, polisi atau keluarga korban nih? Tebak aja sendiri :)

Note: sebenarnya tulisan ini ingin ikutan di buku Warna Warni 3, tapi sayangnya terlambat karena udah masuk percetakan. So, daripada terbuang sia-sia, saya post di blog ini aja...