Sunday, December 12, 2010

Paris dan Cinta yang Lain


Paris, suatu malam di musim gugur...



Dengan antusias, perempuan itu menaiki satu per satu anak tangga di pilar utara Menara Eiffel. Masih ada sekitar 200 anak tangga yang harus ia daki. Dinginnya udara Paris malam itu, menambah berat perjuangannya untuk bisa sampai ke tingkat pertama Menara Eiffel. Namun, semua itu tidak menyurutkan semangatnya. Ia ingin menikmati pemandangan kota Paris dari ketinggian 57 meter.


Ia tak pernah meyangka bisa menapakkan kaki di ibukota Perancis ini. Perempuan itu datang ke Paris bersama seorang sahabat wanitanya. Mereka hanya berdua, dan cuma punya waktu 3 hari 2 malam. Namun, sang sahabat sudah pernah ke Paris sebelumnya dan telah berkali-kali menyambangi Menara Eiffel. Jadilah perempuan itu terpaksa naik ke atas seorang diri.


Tapi tak mengapa, pikirnya. Telah banyak ia lihat gambar-gambar indahnya kota Paris diambil dari atas Menara Eiffel. Ia ingin membuktikannya sendiri. Tapi, ia memutuskan hanya naik ke tingkat satu, karena antrean ke puncak Menara Eiffel lebih panjang dan ia malas mengantre tanpa ada teman ngobrol.


Akhirnya, perempuan itu sampai juga di teras tingkat satu Menara Eiffel. Pemandangan kota Paris berbalut lampu dari segala penjuru, langsung memanjakan matanya. Sungguh mempesona. Ia memang selalu sukacity lights. Memandangi kerlap kerlip lampu dari ketinggian.


Tangannya segera mengeluarkan kamera pocket yang disimpan di kantong jaket. Sayang, ia tidak punya kamera SLR. Kalau ada, pasti panorama ini bisa diabadikan dengan lebih sempurna. Tak mau ketinggalan ada di dalam foto, ia membalikkan arah bidikan kameranya, dan memotret diri sendiri.


"Do you want me to take your picture?" Seorang pria yang sedang melintas bersama pasangannya bertanya.


"Yes, please!" Jawab perempuan itu.


Klik!


"Here you go." Kata pria itu sambil menyerahkan kembali kameranya.


"Thank you..."


"You're very welcome!" Pria itu berlalu sambil memeluk pasangannya.


Perempuan itu baru sadar, hampir segala sudut Menara Eiffel dipenuhi pasangan yang tengah memadu kasih. Ada yang tua, ada yang muda. Ada yang berpelukan, berciuman, atau hanya saling pandang. Hhmm, Paris memang pantas dijuluki Kota Cinta. Love is in the air.


Ia pun berkhayal. Seandainya saja saat ini ada seorang pria yang menemaninya. Tapi ia tidak membayangkan kekasih atau suaminya atau pria tertentu. Perempuan itu belum menikah dan ia juga sedang tidak punya pacar. Ia hanya berandai-andai, suatu hari bisa menikmati Paris dari atas Menara Eiffel bersama seorang pria. Dalam hati ia pun mengucap doa: semoga suatu saat impian ini bisa terwujud!


***



Paris, suatu malam di musim semi...


Perempuan itu tak mengira bisa mengunjungi Menara Eiffel untuk kedua kalinya. Kali ini, ia rela ikut dalam antrean yang panjang dan membayar 13 euro agak bisa naik ke tingkat tiga atau puncak Menara Eiffel. Ia yakin pengorbanannya tak akan sia-sia. Karena kali ini ia tidak sendiri. Pria yang ada disampingnya akan menemaninya menyaksikan indahnya Paris di malam hari.


Ia mempererat genggamannya pada tangan pria itu. Sang pria pun tersenyum, lantas merengkuh bahunya. Perempuan itu tengah berbahagia. Impian yang ia punya sejak 2,5 tahun yang lalu akhirnya terwujud: berada di Menara Eiffel bersama seorang pria.


Keduanya memasuki lift yang akan membawa mereka ke tingkat dua. Lift bergerak. Perempuan itu senang. Tapi ada satu hal yang mengusik pikirannya. Perempuan itu menimang-nimang: haruskah ia ungkapkan kegalauan di dalam hatinya? Mungkin tidak perlu. Ia sebaiknya menikmati saja waktu yang ia punya bersama pria itu. Tapi ia tak bisa membohongi diri. Hatinya sungguh gundah gulana.


Sampailah mereka di tingkat dua. Ada antrean yang harus kembali dilalui untuk naik lift yang akan mengantar mereka ke puncak Eiffel. Keduanya berbaris di antrean tersebut.


Ah, sepertinya ia harus mengeluarkan uneg-uneg ini. Ia tak kuasa lagi membendung keresahan di hatinya.


“Boleh aku tanya sesuatu?” Perempuan itu akhirnya memberanikan diri.


“Boleh...”


Ia ragu-ragu untuk melanjutkan. Tapi, ia ingin segera mengakhiri perasaan tidak nyaman ini.


“Kamu sering melakukan ini?”


“Maksudmu?”


“Ya seperti yang kita lakukan sekarang ini....”


Pria itu menghela nafas sambil tersenyum tipis. Perempuan itu langsung menyambar, mempertegas pertanyaannya.


“Maksudku, kamu sering mengkhianati kekasihmu seperti ini?”


Ya, pria itu memang sudah punya pacar. Dan bukan perempuan itu kekasihnya. Perempuan itu berada di tempat yang tepat, dengan perasaan yang tepat, tapi bersama orang yang salah: di Menara Eiffel, dengan perasaan cinta, tapi bersama pacar orang lain. Ah, ironis sekali.


Pria itu tampak berpikir sebelum menjawab.


“Sejujurnya ini bukan yang pertama. Sekitar 5 bulan yang lalu, ini pernah terjadi”


“Pacar kamu tahu?”


“Ya, akhirnya aku cerita. Aku selalu jujur padanya.”


“Dia gak marah?”


“Tentu dia kecewa. Tapi, dia maafkan aku...”


Mereka semakin dekat ke pintu lift. Pintu lift terbuka, keduanya masuk ke dalam. Lift bergerak. Kegundahan perempuan itu belum juga usai. Tapi ia menahan diri, menunggu sampai lift berhenti.


Begitu pintu lift terbuka, kerlap kerlip lampu yang menyelimuti kota Paris langsung terhampar di depan mata. Dari ketinggian 276 meter, pemandangan itu sangat memukau. Cuaca Paris yang saat itu hanya sekitar 13 derajat Celsius menambah romantis suasana malam itu. Pria itu memeluknya, sambil mengecup pipi perempuan itu. Ia pun balas memeluk sang pria. Namun, ia belum sepenuhnya lega. Masih ada ganjalan di hatinya.


Sambil menatap mata pria itu, ia bertanya, “Sedalam apa sih perasaan kamu ke aku? Beda gak dengan perasaanmu terhadap selingkuhanmu yang dulu? Atau bahkan terhadap pacarmu sekarang?”


“Aku gak pernah punya perasaan sedalam ini terhadap siapa pun sebelumnya. Cuma sama kamu. Setiap hari aku gak pernah berhenti mikirin kamu...” Pria itu meyakinkannya.


Perempuan itu puas dengan jawaban sang pria. Tapi, lubuk hatinya yang paling dalam melontarkan protes.


“Tapi kamu punya pacar. Seandainya dia gak ada, pasti semua ini akan lebih berarti. Kamu mau mutusin dia buat aku? ”


Pria itu mempererat pelukannya. Lalu, tangan kanannya mengangkat dagu perempuan itu.


"Kamu percaya kan aku sangat tergila-gila kepada kamu? Tapi kamu juga tahu, aku gak semudah itu bisa mutusin pacarku. Sudahlah, yang penting sekarang aku ada disini bersama kamu..."


"Aku percaya kamu, tapi..."


Belum sempat ia melanjutkan kalimat protesnya, pria itu perlahan mendekatkan bibirnya ke bibir perempuan itu. Mengecupnya dengan lembut. Perempuan itu membalasnya. Mereka berciuman di puncak Menara Eiffel. Sekejab, perempuan itu lupa akan kegundahan di dalam hatinya.


Ah, perempuan itu tak peduli. Yang penting ia bisa bilang pada dunia bahwa ia pernah berada di puncak Menara Eiffel bersama seorang pria yang disayanginya. Tak masalah pria itu bukan miliknya. Seperti cinta itu sendiri, Paris bukan cuma punya sepasang kekasih atau suami istri. Paris juga milik mereka: Ia dan pria itu. Ia yakin, sampai kapan pun, they will always have Paris...


***

No comments: