Friday, February 24, 2012

A Different Kind of New Year

Kata orang sakit itu gak enak. Apalagi, kalau sakitnya di penghujung tahun menjelang perayaan tahun baru. Semakin gak enak lagi, kalau saat itu sedang berada di Bali.


Jauh-jauh hari saya sudah mengambil jatah cuti supaya bisa menyambut tahun baru di Bali. Saya sangat excited, karena rencananya di sana saya akan merayakan pergantian tahun bersama pacar, sahabat dan juga keluarga. Lengkap kan? Wajar saja, kalau saya langsung menyusun beragam aktivitas yang akan saya jabani di sana bersama orang-orang tercinta.


Saya berangkat tanggal 28 Desember, dan rencananya akan ada di Bali sampai tanggal 2 Januari. Saat pesawat yang saya tumpangi mendarat di Denpasar, badan saya sudah mulai terasa tidak enak. Lemas dan pusing. Tapi saya pikir, mungkin cuma kelelahan biasa, karena beberapa hari sebelumnya saya kerap disibukkan dengan kegiatan syuting yang tentunya menyita tenaga dan pikiran. Namun setelah sempat beristirahat, saya belum juga merasa baik. Malam harinya, tubuh saya menggigil dan demam panas dingin.



Pagi hari 29 Desember, saya merasa sedikit lebih baik. Demam berkurang meski kepala masih terasa pening. Tapi, rasanya sayang kalau di Bali hanya diam di kamar. Saya memaksakan diri pergi ke pantai. Sebelumnya saya sempatkan diri berobat ke klinik terdekat. Namanya Legian Clinic. Setelah diperiksa, kata dokter, mungkin saya hanya kelelahan saja. Saya diberi dua jenis obat, salah satunya antibiotik. Saya agak kaget saat membayar biaya berobat sebesar Rp. 250 ribu: Rp. 150 ribu untuk dokter umum (bukan spesialis) dan Rp. 100 ribu untuk dua jenis tablet. Padahal klinik tersebut sangat sederhana. Ternyata harga yang diberikan kepada saya itu pun khusus untuk warga lokal. Karena saya sempat mendengar sang perawat menjelaskan melalui telepon dalam bahasa inggris (saya berasumsi ia sedang berbicara dengan turis asing), "If you come here, you have to pay Rp. 450.000 for the doctor only, excluded the medicines and treatments. If we come to your hotel, you'll have to pay Rp. 950.000 just for the doctor."


Obat yang saya minum cukup ampuh membuat tubuh lebih bertenaga sepanjang hari itu, meski belum terasa segar. Tapi malam harinya, lagi-lagi saya demam panas dingin, ditambah flu dan batuk yang tak juga reda. Saya mulai khawatir terkena thypus. Karena konon gejala penyakit itu, deman tinggi di malam hari, namun turun di pagi hari.


Benar saja. Pagi harinya 30 Desember, demam saya turun. Tapi kepala masih berat dan makanan selezat apa pun terasa hambar di lidah. Tapi dasar tidak pernah bisa diam, saya tetap memaksakan diri menghirup udara segar. Apalagi, Adji sempat menyemangati,"Jangan dirasain deh sakitnya. Coba ditanam di kepala 'aku sehat kok' gitu..." Saya dan Adji pun jalan-jalan di sekitar Seminyak, lalu menunggu sunset di La Plancha. Saat itu, saya masih tak sepenuhnya merasa fit. Selepas magrib, saya kembali menggigil dan panas dingin. Padahal, mulanya malam itu saya dan Adji berencana menyusul Aini, Achy, Suryo dan Ogi yang sedang nongkrong di Warung Ocha. Saat menelepon Aini untuk membatalkannya, Aini menyarankan saya periksa ke dokter lain. Saya memang sempat berpikir ingin berobat lagi ke salah satu rumah sakit yang menjadi provider asuransi yang disediakan kantor (supaya tidak perlu mengeluarkan uang lagi). "Jangan, rumah sakitnya jauh di Denpasar. Loe sama Adji kan naik motor, yang ada malah makin sakit masuk angin," kata Aini. "Mending loe ke Bali Clinic aja deh, dokter-dokternya disana lebih bagus. Gw jemput elo sekarang ya, kita konvoi motor," tambah sahabat saya yang tinggal dan bekerja di Bali ini.


"Gak kok, ini bukan Thypus, hanya radang aja. Cuma tubuhnya lagi lemah, jadi bakteri gampang masuk," jelas dokter yang memeriksa saya di Bali Clinic. "Nah, obat yang dikasih dokter kemarin ini, antibiotik yang kualitasnya paling rendah, sementara sepertinya kamu sudah sering mengkonsumsi antibiotik yang lebih tinggi, sehingga yang ini gak mempan. Obatnya saya ganti dan saya tambah ya. Lalu saya suntik ya, supaya radangnya cepat reda."Saya langsung merasa lega. Setidaknya saya tidak terkena thypus. Saya tidak bisa membayangkan bila nantinya harus bed rest di tengah kemeriahan perayaan tahun baru di Bali.


Lagi-lagi biaya yang harus saya bayar cukup mencengangkan. Rp. 850 ribu, dengan perincian Rp. 350 ribu untuk dokter umum dan Rp. 500 ribu untuk 4 jenis obat dan suntik. Kliniknya memang lebih baik daripada Legian Clinic, tapi rasanya seumur hidup baru kali ini saya membayar Rp. 350 ribu untuk dokter umum. Biasanya dengan jumlah yang sama, saya bisa mendapatkan jasa dokter spesialis ternama di Jakarta.


Esok harinya, 31 Desember, saya merasa jauh lebih segar. Makanan pun mulai ada rasanya di lidah. Rencana malam tahun baru pun disusun. Nanti malam, saya, Adji, Aini, Achy, Suryo, Ogi dan Tania yang baru tiba di Bali dini hari tadi akan makan malam di resto Khaima. Tapi sebelumnya, saya dan Adji berjanji akan menjemput mama saya, Manda (adik saya) dan Flo (sahabat Manda) di bandara. Mereka dijadwalkan tiba di Bali sekitar pukul 6 malam.


Sayangnya pesawar mereka delay, sehingga baru mendarat sekitar pukul 9 malam. Saya dan Adji pun tak bisa gabung di acara dinner bersama teman-teman yang lain. Akhirnya saya, Adji, Mama, Manda & Flo makan di Warung Italia tak jauh dari hotel. Saat menyusuri sepanjang jalan Dhyana Pura yang sesak, jam 12 malam tiba. Jadilah kami merayakan pergantian tahun hanya sambil menyaksikan kembang api di pinggir jalan. Bukan di pinggir pantai seperti bayangan saya.


Setelah mengantar Mama ke hotel, mulanya saya, Adji, Manda dan FLo berniat menyusul teman-teman lain yang sudah bergeser dari Khaima ke La Barca Beach Club. Tapi ternyata mereka sudah bergerak kembali ke hotel tempat Achy & Suryo menginap. Akhirnya kami berjanji bertemu di sana dan menghabiskan malam hingga menjelang subuh disana. Tidak ada yang istimewa, kami hanya berkumpul dan mengobrol. Tahun baru saya kali ini dirayakan tanpa pesta, musik hingar bingar dan alkohol (padahal saya sedang berada di Bali, dimana semua hal itu sangat mudah didapat).


Saya tahu, pengalaman yang saya ceritakan di atas, panjang dan mungkin terkesan bertele-tele. Tapi sungguh, banyak pelajaran berharga yang saya petik dari rentetan kejadian itu.


Pertama, hidup memang selalu diwarnai perjuangan. Akhirnya, sesuai rencana, saya tetap bisa merayakan tahun baru dalam keadaan sehat dikelilingi sahabat, pacar dan keluarga, namun jalan menuju ke sana sungguh berliku. Saya harus dua kali bolak balik ke dokter dan mengeluarkan uang yang tak sedikit. Kedua, orang yang tulus peduli kepada saya, terbukti ketika mereka juga ada untuk saya di saat yang tidak menyenangkan. Aini dengan sigap langsung mengantar saya ke dokter padahal saat itu ia sedang hang out bersama teman-teman lain. Adji rela tidak sepenuhnya bersenang-senang di Bali demi menemani dan merawat saya yang sedang sakit. Padahal ia jarang dan bahkan sulit mendapat izin cuti. Ketiga, kesehatan itu memang mahal harganya, baik dalam arti sebenarnya, maupun dalam tanda kutip. Total saya harus mengeluarkan Rp. 1,1 juta untuk berobat dalam 2 hari berturut-turut. 'Mahal' karena semua pesona dan keriaan yang ditawarkan Bali cuma bisa dinikmati dalam keadaan sehat walfiat. Saat sakit, semua jadi tak ada artinya.


Dan ternyata, rentetan peristiwa kurang menyenangkan itu berlanjut di hari pertama tahun 2012, 1 Januari. Mobil rental yang dikemudikan Adji menabrak mobil lain saat macet. Kapnya penyok. Kami pun terpaksa harus mengganti biaya perbaikannya. Pelajaran lain pun didapat: hidup tak pernah lepas dari cobaan (bahkan di hari pertama tahun 2012). Lalu, di hari yang sama, Aini yang gantian sakit. Ia demam tinggi. Gantian, saya, Adji dan Tania yang mengantarnya ke dokter. Flo yang menginap di kost Aini juga tak lupa membelikan obat-obatan dan makanan. Again, another lesson learned: that's what friends are for!


Last, but not least...

Have a blessed 2012. Since the very beginning of it, I knew that I am truly blessed!


***


"Blessed is the influence of one true, loving human soul on another" -- George Eliot


Jakarta, 9 Februari 2012

00.33 AM