Friday, January 28, 2011

Kisah Si Sepeda Biru Tua


Kisah Si Sepeda Biru Tua di Belanda...

Tinggal di Belanda, rasanya kurang sah bila tak punya sepeda. Pasalnya, bagi penduduk Negeri Kincir Angin ini, sepeda terbilang alat transportasi utama. Saya yang tiba di kota Den Haag bulan September 2009 silam, pun tak mau ketinggalan punya sepeda. Apalagi saya tahu akan tinggal di Belanda paling sedikit selama satu tahun untuk menyelesaikan kuliah Master International Communication Management (MICM) di The Hague University. Karena tak mampu beli sepeda baru (yang harganya bisa sampai ratusan euro), saya pun membeli sepeda bekas dari Asty Rastiya, alumni MICM 2008 yang juga mantan rekan kerja saya.

Sepeda itu saya beli seharga 37 euro atau sekitar Rp. 450.000. Warnanya biru tua. Meski umurnya tampak uzur, kondisi sepeda tersebut masih baik dan kokoh. Sejak perkuliahan dimulai, ia pun kerap mengantarkan saya bolak balik dari apartemen ke kampus yang jaraknya hanya sekitar 2,5 kilometer.

"Kalau rantainya mulai bunyi atau terasa berat saat dikayuh, rajin-rajin diolesi minyak. Gak perlu pakai minyak sepeda, minyak sayur aja biar murah meriah." saran Asty. Tapi karena dasarnya memang kurang telaten, saya seringkali lupa meminyaki rantai si sepeda biru tua. Sampai akhirnya, ia tak berhenti mengeluarkan bunyi dan sangat terasa berat saat dikayuh. Seperti tidak ada 'tarikan' sama sekali.

Aris Kurniawan, teman MICM 2009, menawarkan jasa untuk melihat kondisi si sepeda biru tua. Saya membawanya ke apartemen Aris di Stamkartplein, yang letaknya bersebelahan dengan kampus. Setelah meneliti, Aris berkata "Ah ini mah cuma kurang minyak aja. Rantainya kering dan banyak kotoran menggumpal. Bersihin aja pake sikat dan bensin, beres kok." Saya pun mengiyakan saja, walaupun dalam hati saya bingung, di Belanda bagaimana caranya bisa beli bensin ketengan ya? Akhirnya, karena masih malas repot, si sepeda biru tua saya inapkan di parkiran Stamkartplein. Saya pikir toh dekat dengan kampus, jadi saya bisa menengoknya kapan saya. Saya ingat, saat itu akhir Desember 2009, musim gugur sudah resmi beralih ke musim dingin.

Hari dan bulan pun berganti. Tapi saya belum juga sempat memperhatikan si sepeda biru tua. Saya terlalu sibuk mengejar deadline demi deadline tugas-tugas kuliah. Bila tidak sedang berkutat dengan pelajaran, saya pun sibuk "pacaran" (dalam tanda kutip karena di masa ini saya dekat dengan seorang pria dan kami sering jalan bareng, tapi tidak resmi berpacaran). Jalanan yang licin dan cuaca dingin saat winter pun membuat saya semakin melupakan si sepeda biru tua karena merasa tak membutuhkannya. Saya lebih nyaman naik tram yang hangat. Alhasil, ia saya biarkan teronggok di parkiran dekat kampus tanpa terlindungi dari hujan salju. Bila ia bisa merasa, pasti si sepeda biru tua sudah menggigil hingga beku kedinginan.

Saya baru teringat lagi akan si sepeda biru tua saat chatting dengan Endra Noviandy, seorang teman ISS. Ia berkata bahwa temannya, Shintong Febby, jago memperbaiki sepeda. Kami bertiga pun sepakat bertemu untuk memperbaiki si sepeda biru tua. Namun, hujan di hari perjanjian tersebut membuat saya malas keluar rumah. Si sepeda biru tua pun gagal 'disembuhkan'.

Ironisnya, tepat keesokan harinya, si sepeda biru tua raib dari tempat parkirnya. Saya menduga, ia disita oleh sejenis satpol PP-nya Den Haag. Beberapa hari sebelumnya, saya memang sempat melihat selebaran kertas peringatan dari pemda setempat yang (menurut teman yang mengerti bahasa Belanda) artinya sepeda akan segera disita karena telah terlalu lama dibiarkan di parkiran sehingga dianggap tak bertuan. Tapi entah mengapa, saya tak menghiraukan peringatan tersebut. Saat itu bulan April 2010, musim semi baru menjelang. Saat tulip-tulip mulai bermekaran inilah si sepeda biru tua resmi meninggalkan saya untuk selamanya.


Kisah Si Sepeda Biru Tua di Jakarta...

Sembilan bulan telah berselang sejak kepergian si sepeda biru tua. Kini, saya sudah berada di tengah hiruk pikuk kota Jakarta dan kembali bergumul dengan kesibukan kantor.

Jumat, 21 Januari 2011 lalu, saya menyempatkan diri hadir di acara Holland Alumni Meet & Greet. Disana saya bertemu dengan Ricky Andriansyah, alumni UVA 2009, dan Afgi Ahmad, alumni MICM 2007. Saat melihat foto sepeda di layar proyektor, kami pun asyik berbagi pengalaman.

"Gw gak sempat punya sepeda lho dulu di Amsterdam, malas...." Kata Ricky

"Gw sempat tapi cuma sebentar aja. Lucunya sepeda gw diciduk satpol PP gitu karena kelamaan ditelantarin di parkiran. Dia rusak terus gw gak sempat-sempat benarin..." Saya menimpali RIcky.

"Wah, kalau gw malah sering pakai sepeda. Tahu gak, dulu gw dapat sepeda itu dari Putri, teman MICM 2007. Jadi sepeda itu ditinggalin begitu aja sama housemate-nya Putri yang orang Bulgaria saat dia pulang ke negaranya. Nah si orang Bulgaria ini biasa jadi penadah sepeda curian, salah satunya ya sepeda gw itu. Terus sepeda itu gw jual ke Asty, MICM 2008...." Cerita Afgi.

Saya mendadak tersentak "Lah, sepeda gw kan gw beli dari Asty... Jadi, Asty beli dari elo? Dan ternyata itu barang curian? Ya ampuun.. Pantas aja akhirnya dia diciduk satpol PP....Gak heran..."

Serentak, kami berdua pun tertawa riuh. Afgi mungkin tak menyangka bisa mengetahui perjalanan sepedanya yang berakhir tragis, dan saya tak pernah mengira bahwa si sepeda biru tua ternyata adalah barang curian.

Bagi saya pribadi, kejadian ini punya tiga makna. Pertama, pepatah 'kalau masih milik pasti kembali' bisa jadi berlaku sebaliknya, yaitu 'kalau bukan milik pasti akan hilang juga'. Meski si sepeda biru tua telah berkali-kali pindah tangan, ia tidak akan pernah selamanya menjadi milik orang yang bukan pemilik aslinya (dalam hal ini si korban pencurian). Kedua, meski berstatus curian, jasa si sepeda biru tua tidak boleh dipandang sebelah mata, karena ia telah setia menemani tiga generasi mahasiswa MICM asal Indonesia yang sedang berjuang menimba ilmu di Belanda. Ketiga, saya jadi lebih menghargai setiap barang yang saya punya. Saat memilikinya, saya memang merasa si sepeda biru tua kurang menarik dan berharga. Siapa sangka, ia ternyata menyimpan kisah yang begitu unik.

Saya tidak tahu bagaimana kabar si sepeda biru tua saat ini, karena saya tidak paham cara pemda Den Haag menangani sepeda sitaan. Bisa jadi ia sudah dipreteli. Namun, bila ia masih utuh, hanya satu harapan saya: semoga ia berada di tangan orang yang rajin merawatnya dan memberinya tempat berteduh dari terpaan hujan dan badai salju. Tidak seperti saya, yang tega menelantarkannya hingga 4 bulan pada musim dingin tahun lalu.


***

Jakarta, 26 Januari 2011

01.30 AM


No comments: