Saturday, September 11, 2010

Mencari yang ideal

Coba pikirkan, sepanjang hidup Anda, seberapa sering kata 'idealnya' terlintas di benak atau terlontar dari mulut Anda? Saya yakin, pasti jawabannya tak terhitung.


“Idealnya, saya menikah di usia 25 tahun...”

“Idealnya, saya punya pacar yang tampan dan setia...”

“Idealnya, saya punya penghasilan Rp. 20 juta per bulan...”

“Idealnya, usia 30 tahun saya sudah punya rumah sendiri..”

Dan berjuta-juta 'idealnya' lainnya...


Dalam bahasa inggris kata ideal juga berarti ideal dan menurut Oxford Learner’s Pocket Dictionary yang saya punya, ideal artinya “idea or standard that seems perfect” atau “person or thing considered perfect”. Kesimpulannya, ideal identik dengan perfect atau sempurna.


Tak ada yang salah dengan menginginkan kondisi atau hal-hal yang ideal. Bahkan sangat manusiawi, karena kita pasti mau yang terbaik dalam hidup ini. Menengok ke belakang, saya bisa dibilang beruntung karena cukup banyak kondisi (yang menurut saya) ideal yg telah saya raih selama 33 tahun saya hidup di bumi ini (halah, jadi ketahuan deh umurnya). Saat SMA, saya berpikir, “Saya ingin jadi diplomat, idealnya saya kuliah di jurusan Hubungan Internasional”. Tahun 1996, saya lolos UMPTN dan diterima di HI UNPAD. Tapi di tengah-tengah kuliah, saya berubah pikiran. “Idealnya setelah lulus nanti, saya tidak jadi diplomat tapi berkarier sebagai jurnalis televisi”. Mei 2002, enam bulan setelah jadi sarjana ilmu politik, saya bergabung dengan Trans TV sebagai Reporter. Contoh lainnya, saya berharap, “Idealnya, suatu saat saya akan meraih beasiswa S2 di luar negeri”. Pucuk dicinta ulam tiba, sejak tahun lalu saya belajar di Belanda dengan beasiswa penuh dari StuNed. Dan masih banyak ‘idealnya’ lain yang berhasil saya wujudkan dengan berusaha dan berdoa (semua orang yang beragama pasti sadar berusaha tak akan afdol tanpa diiringi doa).


Tapi itu semua menyangkut urusan cita (pendidikan dan pekerjaan). Dalam hal cinta, saya tidak seberuntung kebanyakan teman-teman saya (nah, mulai deh tulisan ini berubah jadi curhat colongan). Saya belum menikah, padahal saya pikir, idealnya sebelum usia 30 tahun saya sudah menikah. Saya bahkan belum pernah punya pasangan yang memiliki semua kriteria 'idealnya' versi saya. Ya, idealnya saya punya pendamping yang seiman, mapan (dalam artian punya pekerjaan yg memadai, penghasilan yang lebih baik dari saya dan punya cukup modal untuk menikah), good-looking dengan tubuh proporsional (cukup di mata saya, gak perlu ganteng kayak artis), dan di luar atribut-atribut itu, yang paling penting adalah nyambung dengan saya. Nyambung disini artinya punya wawasan yang luas dan bisa diajak berdiskusi tentang banyak hal. Dia harus mengerti prinsip-prinsip yang saya anggap penting dalam hidup saya dan dapat jadi sahabat yang bisa diajak serius dan juga bersenang-senang.


Terlalu pemilihkan saya? Saya akui, bisa jadi begitu. Bahkan saya mudah ilfil (ilang feeling) bila cowok yang sedang dekat dengan saya tidak sesuai kriteria ‘idealnya’ saya, termasuk dalam hal-hal kecil. Saya pernah ilfil pada seorang cowok yang memesan perkedel di McDonalds. Saya pikir seharusnya dia tahu, menu perkedel adanya di KFC, bukan McDonalds. Konyol memang, karena bisa jadi dia bukan seorang fast food junkie seperti saya (pada masa itu), karenanya sah-sah saja bila ia tidak tahu. Di tingkat yang lebih serius, saya juga pernah ilfil pada seorang cowok yang berkata,”Kok mau-maunya kamu kerja di akhir pekan, jangan mau kalo tidak dapat upah tambahan”. Sebagai jurnalis, saya sudah terbiasa kerja di akhir pekan, dan jurnalis tidak dapat upah tambahan untuk hal ini (bila dapat, saya tentu sudah kaya raya). Menurut saya, cowok ini tidak sepantasnya berkata begitu kepada saya, kan dia belum tahu seberapa besar saya mencintai pekerjaan saya, bahkan belum pernah bertanya apakah saya keberatan bekerja di akhir pekan. Contoh lainnya, seorang cowok yang dijodohkan kepada saya oleh seorang teman juga pernah berkomentar, “Sebaiknya kamu beralih profesi,gak akan berkembang kalo jadi jurnalis terus". Lagi-lagi saya berpikir, betapa sempitnya pemikiran orang ini. Dia kan belum tahu apa cita-cita saya dan kami belum pernah membahas seberapa jauh saya ingin berkarya sebagai seorang jurnalis. Orang-orang seperti dua contoh terakhir benar-benar bisa membuat saya ilfil , meskipun mereka punya atribut-atribut lain yg saya sebut diatas (seperti seiman, mapan dll). Jadi, ya benar, dalam hal cinta, saya memang si pemilih.


Tapi ternyata ada yang jauh lebih pemilih daripada saya. Saya punya seorang teman cowok. Dia sudah punya pacar dan mereka sudah menjalin hubungan selama lebih dari 4 tahun. Namun, teman saya mengaku, dia belum yakin bahwa sang pacar akan menjadi istri yang ideal baginya. Ia mengaku masih dalam tahap menilai. “Pacar saya memang calon yang potensial untuk masa depan saya, tapi saya belum yakin. Saya masih membanding-bandingkan dengan perempuan lain untuk mencari pendamping yang sepadan dan terbaik bagi saya.” cetusnya. Ia menambahkan, “Bahkan saya pun sedang menilai kamu saat ini”. (Oke, saya akui, saya memang lebih dari sekedar teman dengan dia). Pembicaraan ini berlangsung saat kami baru saling lebih mengenal selama kurang lebih 2 bulan. Saat itu saya pikir, wajar lah kalau ia masih menilai saya. Tapi yang membuat saya sedikit terhenyak justru, 5 bulan berselang dari pembicaaraan tersebut, ia mengaku masih belum bergeser dari tahap menilai saya. Ego saya si pemilih pun berontak, karena tak terima terus-terusan dinilai. Saya kira hubungan kami sudah sampai ke tahap yang nyaman dan sudah melewati masa penilaian (walaupun mustinya saya tidak heran, karena toh dia juga masih terus menilai pacarnya yang sudah lebih dari 4 tahun bersamanya).


Dari kedekatan saya dengan dia, saya si pemilih pun sadar bahwa ternyata tak enak terus-terusan dinilai (seperti yang sering saya lakukan pada orang lain). Saya lantas berpikir ulang tentang kriteria ‘idealnya’ versi saya dalam mencari pendamping hidup. Mungkin saya terlalu pemilih dan ada baiknya saya berkompromi dengan kriteria-kriteria tersebut. Karena kalau dalam hal-hal lain (misal, pekerjaan) saya bisa kompromi bila tidak berhasil mencapai yang ideal (dengan dalih ‘bukan jalannya’, ‘Tuhan punya rencana yang lebih baik’, ‘belum rejeki’, dsbnya) kenapa dalam urusan mencari pasangan toleransi saya begitu ketat bahkan hampir tidak ada? Saya pun tanpa ragu langsung menjawab, wajar dong kan yang ini (lagi-lagi idealnya) buat seumur hidup, jadi saya mau dapat yang terbaik. Tapi kalau begitu, sampai kapan saya harus bertahan mencari sosok ideal yang belum tentu akan saya temukan tersebut? Rasanya lelah juga kalau harus terus-terusan menilai. Seorang teman malah pernah menyindir saya “Yang ideal menurutmu itu kan subyektif sekali, kalau kamu ingin cari pasangan yang ideal versimu tanpa kompromi sedikit pun, ya pacarin aja diri sendiri."


Jadi, haruskah saya tetap bertahan dengan kriteria ‘idealnya’ versi saya atau sebaiknya saya mulai berkompromi dengan mengubah kriteria-kriteria tersebut? Ah, saya tidak tahu. Sungguh, untuk urusan yang satu ini, saya bingung. Satu hal yang pasti, saya cuma ingin yang terbaik.


***


"Isn't everything autobiographical? I mean, we all see the world through our own little keyhole" - Jesse in the movie "Before Sunset".


Den Haag, 11 September 2010

03.05 AM


No comments: