Thursday, June 23, 2011

Bandara Schiphol, Ulang Tahun Saya & Semuanya...

Bandara Schiphol - Amsterdam, Belanda

Rabu, 1 Juni 2011


Jam di tangan saya menunjukkan pukul 7 malam. Sementara waktu di Jakarta yang lebih cepat lima jam dari Amsterdam, tepat pukul 12 malam memasuki tanggal 2 Juni. Itu artinya, saya resmi berulang tahun! Ya, notifikasi Facebook dan BBM dari beberapa teman pun langsung menyadarkan saya akan dua hal: umur telah bertambah dan jatah hidup berkurang.


Saya sedang berada di ruang boarding, menunggu keberangkatan pesawat KLM yang akan membawa saya kembali ke Jakarta. Berulang tahun di bandara yang jaraknya hampir 12.000 kilometer dari tanah air memang baru sekali dalam hidup saya alami. Kesannya sudah pasti berbeda. Namun, bukan cuma sekali bandara Schiphol memberi kesan bagi saya. Saya mungkin sudah lupa tanggal pastinya tapi saya masih ingat jelas setiap perasaan yang pernah saya punya saat berada di bandara yang terletak di sebelah barat daya kota Amterdam ini.


Ingatan saya pun melayang ke serpihan- serpihan peristiwa itu. Lalu hati saya pun ikut bercerita dan merangkum semuanya...


***


Pertengahan September 2007

"Dames en Heren, welkom in Amsterdam..."

Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari 14 jam, akhirnya pesawat yang saya tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Schiphol. Hanya satu kata yang menggambarkan perasaan saya saat ini: Excited! Wajar saja, inilah pertama kalinya saya menginjak tanah Eropa. Saya akan mengikuti kursus Broadcast Journalism di RNTC, Hilversum, selama tiga bulan.


Setelah turun dari pesawat, melalui imigrasi dan mengambil bagasi, saya mengikuti arahan Henk Baard, sang Course Leader, dalam emailnya. "On arrival please go to the MEETING POINT in the Arrivals Hall. You will be met there by our taxi driver (he will be holding up a board with RNTC on it) and brought to the Guesthouse where you will be staying....."


Awal Desember 2007

25 kg. Angka itulah yang muncul setelah saya meletakkan koper di timbangan saat check-in untuk penerbangan KLM tujuan Kuala Lumpur-Jakarta. Itu artinya saya kelebihan 2 kg (jatah bagasi KLM kelas ekonomi 23 kg).


Masih diselimuti perasaan sedih, saya berusaha memindahkan sejumlah barang dari koper ke tas kabin. Ya, saya sedih, karena harus berpisah dengan dia. Padahal baru tiga hari belakangan ini kami semakin akrab. Sejak kursus dimulai saya sudah menyukainya. Saya rasa, ia juga begitu. Namun entah mengapa ia baru punya keberanian mengajak saya kencan justru menjelang kursus berakhir. Kami jadi tak punya kesempatan mengenal satu sama lain lebih dalam karena harus kembali ke negara masing-masing. Dan tampaknya ia bukan tipe pria yang rela bersusah payah menjalin hubungan yang dipisahkan lautan.


Ah, sudahlah. Yang pasti satu malam dingin di stasiun Amsterdam Arena itu akan selalu menjadi kenangan manis yang tak akan saya lupakan.


Akhir September 2009

Touchdown Schiphol! Udara dingin langsung menyambut kedatangan saya ke Negeri Kincir Angin. Persis seperti 2 tahun yang lalu. Bedanya, kini saya tiba dengan perasaan campur aduk, bukan cuma excited. Saya senang bisa berada di Belanda lagi untuk kuliah selama satu tahun, tapi saya ragu dan khawatir menjalaninya karena ibunda tercinta belum sepenuhnya merestui kepergian saya kali ini. Dalam hati saya bertekad, saya harus membuktikan kepada Mama bahwa apa yang akan saya tempuh disini bakal bermanfaat bagi kami sekeluarga. InsyaAllah.


Berbeda dengan 2 tahun lalu, saya tidak dijemput di Meeting Point. Saya harus naik kereta ke Den Haag. Untungnya, stasiun kereta Schiphol terintegrasi dengan bandara sehingga tidak saya tidak perlu repot-repot mencarinya. "One way ticket to Den Haag Holland Spoor, please..." kata saya kepada penjual tiket.


Akhir April 2010

Kami masih berpelukan erat. Sesekali kami juga berciuman. Di saat lain kami hanya saling pandang. Sungguh, saya ingin waktu membeku. Supaya saya tak perlu pergi dari saat ini.


Namun saya harus melepaskannya. Sudah waktunya ia pulang ke kampung halaman. Sementara saya masih punya sekitar 6 bulan lagi disini. Padahal semalam, pertama kalinya tiga kata magis itu terucap dari mulutnya. "I love you," katanya. Tidak, kami tidak pacaran. Banyak hal yang menghalangi sehingga kata komitmen tak bersahabat dengan kami. Tak apa, saya senang pernah menghabiskan hampir semusim bersamanya disini.


Sebentar lagi pesawat yang akan ditumpanginya berangkat. Bahkan waktu boarding pun telah lewat. Ia mengecup kening saya sebelum akhirnya beranjak meninggalkan saya. Saya hanya berharap ia selalu ingat pesan saya, "Please remember me with a smile..."


Akhir September 2010 (1)

Saya berada di Terminal 3, mengantar seorang teman wanita yang akan pulang ke Jakarta. Di tempat yang sama dimana saya pernah melepasnya. Peristiwa 5 bulan silam itu masih terekam jelas di benak saya


Tapi kini yang ada cuma perasaan hampa. Sejak beberapa jam lalu, sudah tak ada lagi 'saya dan dia'. Akhirnya kami bisa berdamai dengan komitmen. Ya, komitmen untuk mengakhiri semuanya.


Di detik ini, di tempat ini, rasanya ada sebagian dari diri saya yang hilang.(Disini, Dulu & Saat Ini)


Akhir September 2010 (2)

Saya senang. Hari ini Mama dan adik perempuan saya akan tiba di Belanda. Mereka datang untuk menghadiri wisuda saya bulan depan, sekaligus berlibur.


Saya menunggu mereka tepat di pintu keluar terminal kedatangan. Saya selalu suka suasana di sini. Orang-orang berpelukan hangat, saling melepas rindu. Yang tergambar cuma perasaan bahagia. Tak ada yang lain.


Ah. itu mereka! Orang-orang yang rindukan. Akhirnya setelah satu tahun berpisah, kami berkumpul lagi.


Akhir October 2010

Pesawat Malaysia Airlines yang seharusnya membawa saya kembali ke Jakarta, mengalami kerusakan tehnis. Akibatnya para penumpangnya dipindahkan ke beberapa maskapai lain. Saya kebagian Garuda Indonesia.


Cukup menyenangkan. Saya mendapat tempat duduk yang nyaman di sisi jendela. Ditambah lagi, tak ada penumpang lain di sebelah saya, jadi saya bisa bergerak dengan leluasa.


Hari ini saya kembali ke tanah air. Sedih meninggalkan Den Haag yang sudah satu tahun menjadi rumah saya, tentu saja. Tapi saya optimis, suatu hari nanti saya akan kembali ke Belanda.


Pesawat pun mengudara. "Til we meet again, Holland!"


Akhir Mei 2011

Horee... saya pulang kampung! Tampaknya Belanda memang tak bisa lama-lama melepaskan saya. Buktinya baru 7 bulan berpisah, ia sudah 'menuntut' untuk kembali bertemu dengan saya.


Kali ini saya datang untuk berpartisipasi dalam Holland Alumni Conference 2011. Saya satu pesawat dengan salah seorang peserta dari Indonesia, namun kami terpisah saat keluar dari pesawat. Kami sempat berjanji bertemu di Meeting Point untuk bersama-sama naik kereta ke Den Haag.


Setelah melalui imigrasi dan mengambil barang, saya melangkah menuju Meeting Point. Persis seperti 3,5 tahun yang lalu saat saya pertama kali tiba di Schiphol...


***


"Every time I was in Schiphol, I left a little piece of my heart. Thus, the bigger piece of it always yearn to reunite with the little pieces. However, each time I came back to Schiphol, another little piece of my heart wanted to remain there. That is why, I keep coming back to Schiphol... :)"


Jakarta, 19 Juni 2011

02.15 AM

Friday, June 17, 2011

Mungkin Saya Memang Berjodoh dengan Belanda...

"...Jadi, saya tak akan berkata "Selamat Tinggal Belanda" saat pesawat yang saya tumpangi take off dari Bandara Schiphol nanti. Saya cuma akan bilang "Til We Meet Again, Holland" :)..."


Kalimat diatas adalah penggalan paragraf terakhir dari tulisan yang juga saya muat di blog ini tanggal 23 Oktober 2010 silam (Saya Pasti Bakal Kangen Sama Belanda). Saat itu tiga hari menjelang kepulangan saya ke tanah air setelah menetap di Den Haag selama satu tahun.


And.. here I am now, in the same city, at this very moment. Sungguh, saya tidak menyangka kalau ucapan terakhir saya dalam note tersebut begitu cepat terealisasi. Hanya berselang tujuh bulan, saya sudah berjumpa kembali dengan Negeri Kincir Angin.


Selain cuacanya yang (memang selalu) tidak pernah bersahabat (karena kerap berubah-ubah), Den Haag tetap menyambut saya dengan hangat. Semuanya masih sama seperti saat saya tinggalkan. Bahkan saking familiar-nya saya sampai merasa tidak pernah meninggalkannya. Aktivitas saya disini sejak tiba hari Rabu, 25 Mei lalu sampai sekarang, seakan-akan hanya merupakan kelanjutan dari kegiatan sehari-hari. Saya merasa berada di rumah. Mungkin terdengar lebay, tapi itulah faktanya. Itulah yang saya rasakan.


Belanda memang punya arti khusus bagi saya. Alasannya, sejak tahun 2007 hingga sekarang, sudah tiga kali saya bolak balik ke Belanda. Dan perjalanan itu saya lakukan setiap dua tahun sekali. September 2007, saya berangkat ke Hilversum untuk mengikuti kursus Broadcast Journalism di RNTC selama 3 bulan. Dua tahun kemudian, saya mulai menetap di Den Haag untuk kuliah S2 selama satu tahun. Lalu tahun 2011 ini, saya bertolak ke Den Haag berpartisipasi dalam Holland Alumni Conference bersama 200 peserta dari 36 negara lainnya. Yang patut disyukuri, semua perjalanan tersebut gratis. Saya dibiayai untuk mengikuti program-program itu. Dan tentu saja, yang lebih menyenangkan lagi, mendapat kesempatan masuk ke negara Belanda, juga berarti berhak menjelajah ke 25 negara Schengen lainnya. Itu artinya, saya juga mendapat kesempatan menyalurkan hobitravelling saya ke negara-negara Eropa lain yang tentu lebih mudah dijangkau dari Belanda.


Ya, saya sadar, saya memang sangat patut bersyukur.


Tapi, sebenarnya apa rahasianya saya bisa begitu akrab dengan negara bekas penjajah ini?


Entahlah. Yang pasti untuk bisa mendapatkan kesempatan gratis, saya harus melalui proses seleksi. Tetap ada perjuangan disitu. Nothing comes for free, actually.


Namun, selebihnya, bisa jadi saya memang sekedar beruntung dengan sesuatu yang berkaitan dengan Belanda. Seperti mengutip perkataan seorang sahabat melalui BBM (yang sedikit 'sewot' saat tahu saya akan kembali ke Belanda), "You're one lucky bitch!"


Atau... sederhana saja.


Mungkin, hanya mungkin... Saya memang berjodoh dengan Belanda...


***


Den Haag, 31 Mei 2011

01.40 AM

Wednesday, May 4, 2011

Music To My Ears...


Bila ditanya soal hobi, biasanya jawaban pertama yang spontan keluar dari mulut saya adalah 'mendengarkan musik'. Saya hampir yakin, Anda pun akrab dengan aktivitas yang satu ini. Mendengarkan musik seakan sudah menjadi hobi sejuta umat.

“Music is a moral law. It gives soul to the universe, wings to the mind, flight to the imagination, and charm and gaiety to life and to everything.” - Plato

Pasti hampir tak ada hari yang Anda lewati tanpa mendengarkan musik. Cara menikmatinya, tentu tergantung kebiasaan masing-masing. Entah itu di kamar saat sedang siap-siap beraktivitas, saat bersantai di rumah, di mobil saat menyetir, di kendaraan umum (melalui MP3 dan sejenisnya), saat mengerjakan sesuatu di depan komputer, saat menonton televisi, saat makan/minum di cafe/restaurant, bahkan saat berjoged di tempat hiburan malam.

Saya pribadi terbilang penyuka hampir segala jenis musik. Ada musik yang saya nikmati karena sekedar cocok dengan suasana hati, tapi ada juga musik yang saya suka karena punya konteks tertentu. Misalnya, karena suka karakter musik atau penyanyi/band-nya, memiliki kenangan tersendiri, liriknya menggambarkan kondisi yang sama dengan yang saya alami atau hanya sekedar menyukai liriknya.

Beragam alasan bagi saya menggemari musik, namun yang pasti musik pernah membuat saya berjoged atau berdansa mengikuti alunannya, terbius diam (karena kagum dengan harmonisasi irama dan/atau vokal-nya) berteriak-teriak (saat bernyanyi di ruang karaoke atau melampiaskan kekesalan), tersenyum bahagia (saat diberi kiriman lagu oleh kekasih atau ingat kenangan indah), sampai menangis (bila mengingat kenangan sedih).

“Words make you think a thought. Music makes you feel a feeling. A song makes you feel a thought.” - E.Y. Harburg

Pengaruh hebat yang ditimbulkan oleh musik tak lain dan tak bukan karena musik erat kaitannya dengan rasa. Musik tertentu mampu membangkitkan rasa tersendiri bagi masing-masing orang. Ya, berdasarkan pengalaman pribadi, hanya sebatas inilah yang saya cerna tentang musik.

Namun, ternyata pengaruh musik bahkan bisa lebih dahsyat lagi. Hal ini baru saya sadari saat melakukan pre interview dengan seorang calon narasumber yang akan tampil di program talk show kami.


Ia adalah Idris Sardi, musisi kawakan dan sang maestro biola (yang sangat menolak disebut maestro). Idris bercerita, "Saat saya menggesekkan biola, penonton ada yang sampai menangis. Padahal saya cuma memainkan lagu 'Bunda', lagu pop biasa. Bahkan ada seorang wanita yang mengaku bisa klimaks saat mendengar saya bermain biola."

“Music and rhythm find their way into the secret places of the soul” - Plato

Wow, pikir saya dalam hati. Bagaimana bisa sedahsyat itu ya?

Belum sempat bertanya, saya sudah mendapat jawaban dari pria berusia 72 tahun ini. "Setiap mulai bermain, saya berdoa kepada Allah, ijinkanlah saya mensyiarkan ciptaanMu melalui musik untuk membahagiakan orang. Saya main untuk Dia." Idris menambahkan, “Biola itu kan cuma kayu dan kawat. Instrumen itu bukan sekedar dibunyikan tapi dinyawakan. Dan itu hubungannya ke Tuhan. Channelnya adalah rasa dan rasa yang punya adalah Dia.”

Kalau mendengar penjelasan Idris, tak heran musik efeknya bisa begitu dahsyat. Tapi tenang saja, tulisan ini tidak akan berubah menjadi khotbah yang sok religious. Intinya saat bermain bermain biola, Idris Sardi pasrah terhadap kekuatan besar yang membantunya. Ia menerjemahkan kekuatan besar tersebut dengan Tuhan. Orang lain mungkin menerjemahkannya dengan semesta. Itu hak masing-masing orang. Yang pasti kekuatan besar itulah yang membantu idris bermain dengan baik sehingga orang lain bisa menikmatinya.

"When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it" - Paulo Coelho

Dan ada lagi yang lain. Bagi Idris, disiplin dalam bermain musik adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Cerita tentang didikan sang ayah pun mengalir dari mulutnya. "Saya dibiasakan berlatih sejak subuh. Kata ayah, subuh adalah waktu yang paling baik karena malaikat masih banyak. Ayah juga menegaskan, kalau saya bermain salah atau tidak serius, itu sama saja saya menzolimi atau menyakiti orang lain." Tak jarang, sang ayah tega memukulnya bila ia salah. "Ayah saya bilang, 'sakit kan dipukul? Nah, seperti itu juga rasanya orang yang mendengar kamu bermain salah'."

Selama ini saya mungkin hanya sekedar pendengar musik yang setia, namun sekarang saya jadi mengerti proses di balik penciptaan sebuah karya musik. Kebetulan yang membagi kisah itu adalah seorang Idris Sardi, yang telah lebih dari setengah abad berkecimpung di dunia musik dan kepiawaiannya memainkan biola tak diragukan lagi.

Perbincangan dengan Mas Idris (ia menolak dipanggil Bapak) hari itu, punya arti tersendiri bagi saya. Dan makna itu tak terbatas soal musik. Supaya bisa dinikmati oleh orang lain, saat menciptakan karya apa pun ada tiga hal yang tak boleh luput. Yaitu menekuni dengan serius, mencurahkan segenap rasa, serta menyerahkan diri kepada kekuatan besar. Meski setiap orang tentu punya cara yang berbeda menerjemahkan hal-hal tersebut.

***

Jakarta, 4 Mei 2011
00.35 AM

Monday, March 28, 2011

Sindiran Si Oleh-Oleh

"Jangan lupa oleh-olehnya ya..."


Coba ingat, seberapa sering kalimat ini dilontarkan kepada Anda? Pasti jawabannnya tak terhitung. Saya pun demikian. Setiap kali hendak berangkat ke luar kota/ luar negeri (tak peduli untuk keperluan kerja atau liburan) oleh-oleh adalah pesan yang tak pernah luput dititipkan orang-orang sekitar yang tahu rencana kepergian saya.


Kisah tentang oleh-oleh akrab bagi saya dan teman-teman sesama pelajar Indonesia saat kuliah di Belanda. Ada seorang teman yang sangat rajin mengumpulkan oleh-oleh. Bahkan, saat ada obral barang merek terkenal atau setiap berlibur ke negara Eropa lain di luar Belanda, ia kerap mencicil oleh-oleh bagi orang-orang terdekat yang tak sabar menanti kepulangannya ke tanah air. Ia tidak seperti saya dan beberapa teman lain yang memilih untuk membeli oleh-oleh di saat-saat terakhir menjelang kepulangan ke Indonesia. Bukannya tak ikhlas mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli oleh-oleh tersebut, tapi saya masih malas direpotkan dengan urusan mencari barang-barang yang akan dijadikan oleh-oleh itu. Ditambah lagi, saya biasa jalan-jalan keliling Eropa alabackpacker, sehingga saya terkadang ragu menyisihkan ruang di tas ransel kecil saya sebagai tempat oleh-oleh.


Ya, begitulah. Bagi si pemberi, oleh-oleh terkadang bisa menjadi momok. Meskipun si pemberi sadar, oleh-oleh pasti akan hanya memunculkan satu perasaan bagi si penerima: senang.


***


Urusan oleh-oleh menjadi lebih bermakna bagi saya saat saya dan tim melakukan syuting untuk program kami di Kuala Lumpur, Malaysia, beberapa waktu lalu.


Di hari terakhir saat pekerjaan sudah selesai, kami pun sibuk berburu oleh-oleh. Ada seorang rekan kerja pria yang kewalahan mencari sepatu titipan sang istri. Pasalnya, tipe sepatu yang diinginkan sangat spesifik: merek tertentu, terbuat dari kulit, bermotif ular dengan tinggi hak sekian sentimeter. Ia sempat menemukan motif yang sesuai, tapi haknya masih terlalu pendek. Ia pun terpaksa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mencari sepasang sepatu idaman sang istri. Seorang rekan kerja pria yang lain sibuk memotret barang-barang yang ada dalam toko untuk dikirimkan melalui BBM."Teman-teman cewek di kantor banyak yang nitip tas atau dompet merek ini. Biar gampang, gw potret aja dulu biar mereka pilih," katanya.


Seorang rekan kerja lainnya, memilih oleh-oleh yang lebih praktis buat sang kekasih: coklat berbentuk kepingan hati dengan bungkus kotak bergambar bunga mawar berikat pita. Sementara saya hanya membeli dua kotak cokelat titipan mama tercinta dan satu kotak cokelat untuk dua orang sahabat yang kebetulan tahu kepergian saya ke Negeri Jiran. Saya tidak berusaha repot mencari oleh-oleh buat orang-orang terdekat lainnya.


Namun, yang terjadi selanjutnya, si oleh-oleh yang kadang saya acuhkan itu tiba-tiba "menyindir" saya.


Begini ceritanya. Dalam perjalanan pesawat pulang ke Jakarta, saya duduk bersebelahan dengan seorang rekan kerja, sebut saja namanya Adi. Ia bercerita bahwa ia telah bercerai dan kedua anaknya diasuh oleh mantan istrinya yang tinggal di lain kota. Kini, ia sulit menemui anak-anaknya karena dilarang oleh sang mantan istri. Ia berkata, "Jujur, gw suka sedih kalau tugas ke luar kota seperti sekarang ini. Gw iri sama teman-teman yang bisa beli oleh-oleh buat keluarganya. Sementara gw mau kasih ke siapa? Kalau gw beli untuk anak-anak pun gak tau kapan dan gimana bisa ngasihnya."


Saya tersentak mendengar pernyataan Adi. Ternyata, oleh-oleh yang terkadang menjadi beban yang ingin saya hindari, bagi Adi justru merupakan hak istimewa yang sangat didambakan namun sulit diraihnya.


Setelah sesaat terdiam, saya menjawab, "Gak apa-apa, Di. Yang penting loe udah ingat mereka. It's the thought that counts."


Menjadikan oleh-oleh sebagai beban atau hak istimewa serta rajin atau malas membeli oleh-oleh, adalah pilihan masing-masing orang. Tidak ada yang bisa memaksa. Namun, satu hal kembali saya sadari: oleh-oleh adalah bentuk perhatian yang diberikan kepada orang yang kita peduli, sayangi atau anggap penting. Dan percakapan saya dengan Adi seakan-akan menyindir saya yang akhir-akhir ini kurang memberi perhatian kepada orang-orang yang berarti dalam hidup saya.


Beberapa wajah lantas melintas di benak saya. Seorang sahabat kala SMA yang baru saja melahirkan anak keduanya (saya belum sempat menengok bayinya padahal saya sudah sempat berjanji). Seorang sahabat yang kamar kostnya sering saya inapi saat kuliah di Bandung dulu (sepertinya sudah hampir 5 tahun saya tidak bertemu dengannya). Sahabat-sahabat perempuan "gank" saya di kampus dulu (kami pernah janjian untuk bertemu tapi sulit mengatur waktu yang cocok). Seorang sahabat saat di Belanda yang kini tinggal di Malang (waktu sama-sama di Den Haag hampir tiap hari kami berkomunikasi lewat YM/Skype, kini SMS pun jarang). Bahkan terkadang saya pun lupa ulang tahun mereka (sementara dulu saya rajin mengucapkan selamat saat teman-teman dekat ultah). Ironisnya, saya bukannya tak tahu cara menghubungi mereka. Nomor telepon bahkan BBM mereka lengkap di contact lists saya.


Sehari setelah pulang dari Kuala Lumpur, saya pun menelusuri daftar teman yang ada di BBM. Saya klik sebuah nama. Salah satu dari sahabat yang saya sebut diatas. Saya mulai mengetik.


"Hai La, apa kabar? Udah lama banget gak ketemu..."


Tak berapa lama, sang sahabat mambalas, "Haiii Mirrr... Alhamdullilah baik. Iya nih kangen deh. Elo sibuk ngapain aja sekarang?"


Paling tidak saya bersyukur, masih bisa mengemban hak istimewa untuk mencurahkan perhatian kepada orang-orang tersayang.


***


"The greatest gift is a portion of thyself" -- Ralph Waldo Emerson

"The greatest gift you can give another is the purity of your attention" -- Richard Moss

"It isn't the size of the gift that matters, but the size of the heart that gives it" --Eileen Elias Freeman


Jakarta, 28 Maret 2011

02.30 AM

Wednesday, March 9, 2011

Jutaan Tulip, Sekeping Hati dan Sepotong Bibir***

Musim tulip yang lalu...

Spring is in the air! Itu artinya tulip-tulip bermekaran di Keukenhof*. Diantara jutaan tulip itu, ada sekeping hati. Ia tengah berbahagia. Pantas saja, ada cinta yang tertanam di sana. "I love you," Sepotong bibir itu berucap. Ah, kalimat itu bagaikan mantra yang sekejab manjur merekahkan cinta milik si sekeping hati. Dunianya terang bak musim semi yang cerah. Berwarna warni seperti tulip-tulip yang indah.


Semoga saja, mantra si sepotong bibir mampu membuat cintanya tumbuh menjadi seperti arti bunga tulip itu sendiri: cinta yang sempurna**.


-----


Diantara...


Musim berganti. Negeri Kincir Angin tak lagi dihiasi tulip. Sekeping hati itu sadar, tulip bukan bunga abadi. Ia hanya tumbuh dan mekar di musim semi. Namun, sekeping hati tak ingin cintanya seperti tulip yang bergantung pada musim. Ia mau cintanya terus mekar dan tak kuncup dimakan musim. Ia yakin, mantra dari si sepotong bibir punya kekuatan magis untuk mewujudkan keinginannya.


Tapi, suatu malam di musim gugur, harapan itu pupus. "I decided not to love you any longer," Begitu kata sepotong bibir. Sekeping hati pun berontak, "Why? You cannot choose to love or not to love someone. Love happens naturally. It's not supposed to be logical." Sepotong bibir cuma punya jawaban singkat, namun tegas dan jelas, "I just don't love you anymore." Lalu, sepotong bibir pun beranjak meninggalkannya.


Musim dingin menjelang. Sekeping hati masih merindukan sepotong bibir. Ia bermimpi, sepotong bibir kembali dan membawakannya musim tulip yang abadi.


-----


Musim tulip kali ini...


Musim semi berulang. Pertanda tulip-tulip akan segera bermekaran. Secercah harapan menghinggapi sekeping hati. Harapan untuk kembali memupuk cintanya yang telah layu.


Namun, kini ia tak lagi menginginkan sepotong bibir. Perlahan-lahan ia sadar, bukan si sepotong bibirlah pemilik mantra yang mampu membuat cintanya mekar sempurna. Bukan juga sepotong bibir yang lain. Pemilik mantra tersebut adalah sekeping hati yang lain. Karena mantra yang ampuh bukan diucapkan dari bibir, tapi dari hati.


Kali ini sekeping hati tidak akan percaya lagi kepada sepotong bibir. Ia cuma akan percaya kepada sekeping hati yang lain. Karena hanya sekeping hati yang mampu dan layak memberinya musim tulip abadi. Dan Karena hanya sekeping hatilah yang sepadan dengannya...


-----

*Keukenhof adalah taman bunga tulip seluas 32 hektar yang terletak di kota Lisse, sebelah barat Belanda. Keukenhof dipenuhi 4,5 juta bunga tulip dengan beragam jenis dan warna. Setiap tahun taman yang hanya buka pada musim semi ini selalu dipadati turis. Tahun lalu, saya berkunjung ke Keukenhof pada tanggal 24 April 2010. Tahun 2011 ini, Keukenhof buka tanggal 24 Maret s/d 20 Mei 2011.


**Menurut berbagai referensi bunga tulip adalah simbol cinta yang sempurna (www.teleflora.com, www.proflowers.com, livingartsoriginal.com)


***This note is dedicated to a best friend who lived in Holland for a year, but never entered Keukenhof Garden. Ironically, she was once just few steps away from it :)


Jakarta, 8 Maret 2011

00.40 AM