Lebaran dan menikah? Apa hubungannya?
Ada. Saat bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat di hari Lebaran, menikah adalah salah satu topik hangat yang kerap diperbincangkan. Kalau di Twitter, jadi semacam#TrendingTopic begitulah.
Tak heran, karena menikah adalah salah satu fase kehidupan yang dianggap penting oleh kebanyakan orang. Dan coba perhatikan, saat bersilaturahmi di hari lebaran, pasti obrolan tak jauh dari seputar pencapaian dalam hidup. Wajar saja kalau pertanyaan "Kapan menikah?" atau "Sudah menikah?" jadi sangat akrab di telinga.
"Aduh males banget deh ntar lebaran ketemu sodara-sodara, pasti ditanya-tanya kapan kawin lagi nih..," begitu keluhan beberapa sahabat wanita yang seumur. Ya, gara-gara sering ditanya soal menikah, bagi perempuan single usia 30 tahun-an seperti kami, bersilaturahmi di hari raya kadang menjadi momok yang ingin dihindari.
Walaupun sebenarnya, pertanyaan soal menikah sudah saya alami setiap hari lebaran sejak saya sudah bekerja atau di saat usia saya dianggap cukup untuk menikah, let say, umur 26/27 tahun. Saat karier saya sudah berangsur mapan tapi belum juga menikah, pertanyaannya pun berimprovisasi"Terlalu milih-milih ya?" atau "Karier terus ya yang dipikirin sampai lupa nikah?"
Lebaran tahun 2012 lalu, kebetulan saya sedang punya pacar. Namun karena alasan yang terlalu pribadi untuk saya ungkapkan kepada para kerabat itu, kami belum bisa merealisasikan niat baik untuk menikah. Jadilah saya tetap belum punya jawaban bila ditanya. Tapi para handai taulan tersebut seakan tak kehabisan ide. Pertanyaan pun berkembang jadi nasehat berkepanjangan. "Tunggu apa lagi sih? Kan udah sama-sama mapan. Jangan ditunda-tunda loh nikah itu, nanti jadi dosa.." Kira-kira begitulah. Sepertinya di mata mereka, meski sudah banyak pencapaian yang saya raih dalam hidup, kebahagian saya belum juga lengkap bila belum menikah. Jujur saja, tak jarang hari raya yang seharusnya penuh kebahagian ternoda dengan kekesalan akibat ulah para kerabat yang 'sok tau' itu.
Tapi ada yang berbeda di hari lebaran siang tadi. Begini ceritanya. Sebelum kami bersilaturahmi, kabar tentang saya yang sudah putus dengan pacar yang saya ceritakan sebelumnya dan adik laki-laki bungsu saya yang akan segera menikah, sudah beredar. Saya pun langsung membayangkan celetukan-celetukan kreatif yang mungkin mereka lontarkan, misalnya "Wah masa sampai dilangkahin sama adik bungsunya? Buruan cari lagi yang baru, gak usah kebanyakan milih deh..."
Tak disangka, yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada komentar yang membuat panas telinga. Yang muncul cuma tanggapan bernada positif. "Ambil hikmahnya aja, berarti emang belum jodoh. Jodoh itu rahasia Allah, nanti juga dipertemukan kalau udah waktunya.." dan"Tante juga dulu nikahnya belakangan dari adik-adik, jadi tenang aja.."
Saya pun senang. Hati dan bibir tersenyum. Akhirnya mereka bisa mengerti, belum menikah belum tentu tidak bahagia. Saya dan para Tante dan Om itu pun akhirnya bisa satu frekuensi, bahwa Happiness is a State of Mind, kebahagian tergantung cara berpikir kita. Pengalaman lebaran hari ini jadi lebih menyenangkan karena tidak menyisakan kedongkolan dalam hati.
Tadinya saya pikir begitu...
Saat tengah bersalaman untuk pamit pulang, tiba-tiba salah seorang Tante menatap saya dengan penuh iba, lalu menepuk pundak saya sambil berkata lirih, "Sabar yaa...."
Oh, no! Ternyata saya masih juga dikasihani karena belum menikah!
***
"Happiness does not depend on what you have or who you are, it solely relies on what you think" - Buddha
Jakarta, 10 Agustus 2013
2.45 AM
No comments:
Post a Comment