"Jangan lupa oleh-olehnya ya..."
Coba ingat, seberapa sering kalimat ini dilontarkan kepada Anda? Pasti jawabannnya tak terhitung. Saya pun demikian. Setiap kali hendak berangkat ke luar kota/ luar negeri (tak peduli untuk keperluan kerja atau liburan) oleh-oleh adalah pesan yang tak pernah luput dititipkan orang-orang sekitar yang tahu rencana kepergian saya.
Kisah tentang oleh-oleh akrab bagi saya dan teman-teman sesama pelajar Indonesia saat kuliah di Belanda. Ada seorang teman yang sangat rajin mengumpulkan oleh-oleh. Bahkan, saat ada obral barang merek terkenal atau setiap berlibur ke negara Eropa lain di luar Belanda, ia kerap mencicil oleh-oleh bagi orang-orang terdekat yang tak sabar menanti kepulangannya ke tanah air. Ia tidak seperti saya dan beberapa teman lain yang memilih untuk membeli oleh-oleh di saat-saat terakhir menjelang kepulangan ke Indonesia. Bukannya tak ikhlas mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli oleh-oleh tersebut, tapi saya masih malas direpotkan dengan urusan mencari barang-barang yang akan dijadikan oleh-oleh itu. Ditambah lagi, saya biasa jalan-jalan keliling Eropa alabackpacker, sehingga saya terkadang ragu menyisihkan ruang di tas ransel kecil saya sebagai tempat oleh-oleh.
Ya, begitulah. Bagi si pemberi, oleh-oleh terkadang bisa menjadi momok. Meskipun si pemberi sadar, oleh-oleh pasti akan hanya memunculkan satu perasaan bagi si penerima: senang.
***
Urusan oleh-oleh menjadi lebih bermakna bagi saya saat saya dan tim melakukan syuting untuk program kami di Kuala Lumpur, Malaysia, beberapa waktu lalu.
Di hari terakhir saat pekerjaan sudah selesai, kami pun sibuk berburu oleh-oleh. Ada seorang rekan kerja pria yang kewalahan mencari sepatu titipan sang istri. Pasalnya, tipe sepatu yang diinginkan sangat spesifik: merek tertentu, terbuat dari kulit, bermotif ular dengan tinggi hak sekian sentimeter. Ia sempat menemukan motif yang sesuai, tapi haknya masih terlalu pendek. Ia pun terpaksa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mencari sepasang sepatu idaman sang istri. Seorang rekan kerja pria yang lain sibuk memotret barang-barang yang ada dalam toko untuk dikirimkan melalui BBM."Teman-teman cewek di kantor banyak yang nitip tas atau dompet merek ini. Biar gampang, gw potret aja dulu biar mereka pilih," katanya.
Seorang rekan kerja lainnya, memilih oleh-oleh yang lebih praktis buat sang kekasih: coklat berbentuk kepingan hati dengan bungkus kotak bergambar bunga mawar berikat pita. Sementara saya hanya membeli dua kotak cokelat titipan mama tercinta dan satu kotak cokelat untuk dua orang sahabat yang kebetulan tahu kepergian saya ke Negeri Jiran. Saya tidak berusaha repot mencari oleh-oleh buat orang-orang terdekat lainnya.
Namun, yang terjadi selanjutnya, si oleh-oleh yang kadang saya acuhkan itu tiba-tiba "menyindir" saya.
Begini ceritanya. Dalam perjalanan pesawat pulang ke Jakarta, saya duduk bersebelahan dengan seorang rekan kerja, sebut saja namanya Adi. Ia bercerita bahwa ia telah bercerai dan kedua anaknya diasuh oleh mantan istrinya yang tinggal di lain kota. Kini, ia sulit menemui anak-anaknya karena dilarang oleh sang mantan istri. Ia berkata, "Jujur, gw suka sedih kalau tugas ke luar kota seperti sekarang ini. Gw iri sama teman-teman yang bisa beli oleh-oleh buat keluarganya. Sementara gw mau kasih ke siapa? Kalau gw beli untuk anak-anak pun gak tau kapan dan gimana bisa ngasihnya."
Saya tersentak mendengar pernyataan Adi. Ternyata, oleh-oleh yang terkadang menjadi beban yang ingin saya hindari, bagi Adi justru merupakan hak istimewa yang sangat didambakan namun sulit diraihnya.
Setelah sesaat terdiam, saya menjawab, "Gak apa-apa, Di. Yang penting loe udah ingat mereka. It's the thought that counts."
Menjadikan oleh-oleh sebagai beban atau hak istimewa serta rajin atau malas membeli oleh-oleh, adalah pilihan masing-masing orang. Tidak ada yang bisa memaksa. Namun, satu hal kembali saya sadari: oleh-oleh adalah bentuk perhatian yang diberikan kepada orang yang kita peduli, sayangi atau anggap penting. Dan percakapan saya dengan Adi seakan-akan menyindir saya yang akhir-akhir ini kurang memberi perhatian kepada orang-orang yang berarti dalam hidup saya.
Beberapa wajah lantas melintas di benak saya. Seorang sahabat kala SMA yang baru saja melahirkan anak keduanya (saya belum sempat menengok bayinya padahal saya sudah sempat berjanji). Seorang sahabat yang kamar kostnya sering saya inapi saat kuliah di Bandung dulu (sepertinya sudah hampir 5 tahun saya tidak bertemu dengannya). Sahabat-sahabat perempuan "gank" saya di kampus dulu (kami pernah janjian untuk bertemu tapi sulit mengatur waktu yang cocok). Seorang sahabat saat di Belanda yang kini tinggal di Malang (waktu sama-sama di Den Haag hampir tiap hari kami berkomunikasi lewat YM/Skype, kini SMS pun jarang). Bahkan terkadang saya pun lupa ulang tahun mereka (sementara dulu saya rajin mengucapkan selamat saat teman-teman dekat ultah). Ironisnya, saya bukannya tak tahu cara menghubungi mereka. Nomor telepon bahkan BBM mereka lengkap di contact lists saya.
Sehari setelah pulang dari Kuala Lumpur, saya pun menelusuri daftar teman yang ada di BBM. Saya klik sebuah nama. Salah satu dari sahabat yang saya sebut diatas. Saya mulai mengetik.
"Hai La, apa kabar? Udah lama banget gak ketemu..."
Tak berapa lama, sang sahabat mambalas, "Haiii Mirrr... Alhamdullilah baik. Iya nih kangen deh. Elo sibuk ngapain aja sekarang?"
Paling tidak saya bersyukur, masih bisa mengemban hak istimewa untuk mencurahkan perhatian kepada orang-orang tersayang.
***
"The greatest gift is a portion of thyself" -- Ralph Waldo Emerson
"The greatest gift you can give another is the purity of your attention" -- Richard Moss
"It isn't the size of the gift that matters, but the size of the heart that gives it" --Eileen Elias Freeman
Jakarta, 28 Maret 2011
02.30 AM